Yogyakarta, Aktual.com – Ahli Geologi dan Kebencanaan UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, secara gamblang menjabarkan bagaimana menganalisis risiko bencana atas megaproyek Bandara Internasional Kulonprogo.
“Cara gampangnya dengan menghitung berapa aset sebelum dan sesudah pembangunan Bandara,” ujar Dosen peraih UN Sasakawa Award for Disaster Reduction ini, dalam diskusi yang diselenggarakan LBH Yogya, ditulis SeninĀ (27/6).
Eko memaparkan, dari 937 hektar total area pembangunan Bandara dan fasilitas pendukungnya, terhitung wilayah beresiko tinggi terhadap bencana (Zona Merah) sebesar 27% yang rencananya dibangun runway serta beberapa bangunan utama Bandara. Dari kisaran itu, beragam jenis lahan terancam digusur, dengan rincian, pemukiman seluas 18%, persawahan 16%, perkebunan 10%, gumuk pasir 14% serta tegalan atau lahan kering 40%.
Sedangkan, wilayah Bandara berisiko sedang terhadap bencana sebesar 65%. Area seluas 86 hektar ini, lanjut Eko, diperuntukkan sebagai kawasan Airport City. Didalamnya terbagi lahan persawahan sekitar 59%, perkebunan 11% dan pemukiman 29%. Tercatat 479 rumah dengan 1.916 jiwa berada di kawasan pemukiman tersebut.
“Hanya tersisa 7% dari area Bandara yang itu beresiko rendah terhadap bencana,” tegasnya.
Eko menambahkan, Bandara Kulonprogo sendiri bernilai aset 5 sampai 7 triliun dan akan terus membengkak hingga sekitar 11 triliun melalui pembangunan landasan juga hanggar bagi 28 pesawat. Untuk masalah kegempaan, ia mengungkap terdapat patahan-patahan besar di pulau Jawa berbentuk ‘V’ yang saat ini sedang bekerja, salah satu jalurnya berada di wilayah kecamatan Temon, Kulonprogo.
Berdasar kajiannya, terjadi lonjakan resiko sangat tinggi dengan kelipatan begitu besar yakni 1000 kali pada jiwa dan 225 kali kerugian aset. Akan tetapi, hingga kini tidak ada desain dalam blueprint Bandara Kulonprogo mengenai pengelolaan resiko bencana baik kegempaan maupun tsunami.
“Pemerintah ini apa mau jadi juru bunuh? Ini bukan urusan sederhana, jangan dianggap Bandara ini Bandara yang damai sejahtera saja,” sindir Eko.
Keberadaan tenaga kerja Bandara yang bakal menyerap 32 ribu orang serta target 25 ribu penumpang per tahun turut jadi catatan. Ketersediaan air tanah untuk mencukupi kebutuhan aktifitas kebandaraan menjadi masalah baru yang diprediksi muncul. Kondisinya, air tanah dangkal Kulonprogo tidak semuanya bagus sebab pada dataran bagian selatan diantaranya terkandung tanah lumpur hasil endapan sungai dan bekas rawa sehingga hanya bisa dimanfaatkan sedikit demi sedikit.
“Belum lagi suply ketersediaan air tanah dari wilayah hulu yang bersumber pada area Merapi itu bukan aquifer atau pengisi air yang baik lantaran mengandung material vulkanik seperti pasir,” katanya.
Senada, Wahana Lingkungan Hidup Yogyakarta melalui Direkturnya, Halik Sandera, mengungkap bahwa posisi Bandara Kulonprogo berada diatas area cekungan air tanah Wates, terbangunnya infrastruktur berskala besar diyakini mengurangi ketersediaan air tanah dibawahnya akibat konsumsi yang masif, sebagaimana terjadi di wilayah Kota Yogya dan Sleman oleh industri properti. Selain itu, ia pun mengawatirkan air asin dari laut bergerak menyusup ke air tanah dalam di daratan sehingga kedepannya merusak kualitas air tawar atau air bersih.
“Seperti halnya di wilayah pesisir utara Jakarta ataupun Surabaya, semakin besar skala pembangunan di wilayah itu maka proses intrusi air laut juga semakin cepat,” ujar Halik.
Penyebaran efek domino pembangunan Bandara mulai Kulonprogo, Bantul, Kota Yogya hingga Sleman pula sebabkan meningkatnya volume limbah padat atau sampah yang berasal dari proses konsumsi instan aktifitas ekonomi bisnis pariwisata di area-area tersebut. Dampak lain yakni bertambahnya alat-alat transportasi yang menimbulkan titik kemacetan termasuk penurunan kualitas udara sehingga mengganggu kesehatan warga di jalur utama keluar masuk kawasan Bandara.
“Pesisir Kulonprogo juga jadi tempat singgah migrasi burung antar benua, lalu lintas pesawat dan proses migrasi burung-burung tentu nanti saling mengganggu satu sama lain,” tambah Halik.
Laporan: Nelson Nafis
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis
Arbie Marwan