Sejumlah anggota kepolisian yang sekaligus pasukan Asmaul Husna berdoa saat mengikuti apel gelar pasukan pengamanan aksi bela Islam jilid III (212) di Monas, Jakarta, Kamis (1/12/2016). Sebanyak 3.539 aparat gabungan dikerahkan untuk mengamankan aksi 212 yang diisi dengan kegiatan zikir dan doa. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com-Perangai rezim yang gemar menuding makar gerakan-gerakan yang berseberangan serta mengkritik tajam kebijakannya dinilai kembali terlihat lewat Maklumat Kapolda Metro Jaya terkait Aksi Bela Islam 21 November lalu.

Meski belakangan tercapai kesepakatan antara Kapolri dan GNPF-MUI soal aksi 212, namun poin ke-empat Maklumat tetap saja menyisakan persoalan. Pasalnya suatu saat masih bisa kembali dipakai sebagai pijakan aparat menerapkan tindakan berkenaan dengan pasal makar.

“Perlu diingat, Maklumat itu sendiri sebagai sebuah produk hukum belum dicabut,” kata Abdul Kholiq, pakar hukum pidana UII Yogyakarta, Kamis (1/12).

Dia mengimbau kehati-hatian pihak yang melangsungkan aksi, ada sinyal kemungkinan bahwa di kemudian hari negara melakukan kebijakan-kebijakan represi, yang akan digunakan untuk mengatasi fenomena aksi massa.

Sejak Reformasi ’98, Kholiq mencatat sejumlah pihak yang jadi korban penggunaan pasal makar, mulai era Habibie hingga SBY, dipakainya dalih makar ini hanya lantaran berbeda paham maupun kritik pedas yang membuat panas telinga penguasa.

Pada masa pemerintahan Habibie, tuduhan tertuju pada kelompok pembuat Komunike Politik Bersama yang menyeru pembentukan MPR Reformasi dan pembentukan pemerintahan presidium pengganti Kabinet Reformasi Habibie.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, tuduhan ditujukan terhadap Kelompok Kebayoran Baru yang melakukan aksi-aksi ‘kudeta konstitusional’ (impeachment) untuk mencopot Gus Dur dari jabatan Presiden yang dilatarbelakangi kebijakan dan statementnya yang kontroversial.

“Kelompok ini bahkan pernah dituding pula sebagai Bughot atau pemberontak,” kata Kholiq.

Pada masa pemerintahan Megawati, tuduhan ditujukan pada Ustaz Abu Bakar Ba’asyir karena dianggap lakukan perencanaan dan koordinasi serangkaian pengeboman sebagai upaya penggulingan pemerintahan yang sah.

Pada masa pemerintahan SBY, tuduhan tertuju pada kelompok yang menggerakkan aksi demonstrasi ‘Gerakan Cabut Mandat’ pimpinan Hariman Siregar pada awal 2007.

“Tuduhan serupa pernah dialamatkan pada ekonom Rizal Ramli dalam aksi demo anti kenaikan harga BBM medio 2008,” imbuhnya.

Front Pembela Islam di awal Februari 2011 juga sempat alami hal yang sama, dengan alasan seringnya ormas ini lakukan aksi kekerasan dalam memberantas kemaksiatan dan kemunkaran namun tak sesuai jalur hukum, seolah mengabaikan eksistensi aparat negara.

Di masa pemerintahan ini pula, tudingan makar mendera Ratna Sarumpaet karena melakukan seruan dan penggalangan rencana demo besar lewat jejaring sosial 25 Maret 2013 dengan isu sentral gagalnya pemerintahan SBY.

“Sekarang pemerintahan Jokowi meneruskan kegemaran penguasa itu dengan mengeluarkan Maklumat Kapolda Metro Jaya yang menyinggung pasal makar,” ujarnya.

Perangai penguasa ini sejatinya dicatat sebagai sesuatu yang mengganggu kehidupan publik dan ketenteraman sosial. “Bahkan rakyat menjadi pihak yang terteror oleh negara, ancaman terhadap demokrasi itu sendiri,” pungkasnya.

*Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis