Jakarta, Aktual.com – Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI atas APBD-Perubahan DKI 2014 pada Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan, terbaca “Pengadaan tanah RSSW tidak melalui proses yang memadai sehingga berindikasi merugikan daerah senilai Rp191.334.550.000”.
Ada dua kata kunci di situ, yakni : ‘tidak melalui proses yang memadai’ dan ‘berindikasi merugikan daerah’.
Angka Rp191 miliar lebih, merupakan selisih harga yang dibayar Pemprov DKI Jakarta dengan harga yang tertera dalam PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) dengan PT CKU (Ciputra Karya Utama).
Ketika keputusan beli sesuai harga yang ditawarkan YKSW, sesungguhnya tanah masih dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli antara YKSW dengan PT CKU, dengan harga lebih rendah dan pembayaran dengan angsuran tiga kali.
Temuan BPK, kemudian disambut dengan permintaan KPK di era Taufiequrahman Ruki kepada BPK untuk melakukan audit investigasi. Seperti diketahui, hasil audit sudah diserahkan BPK ke KPK. Tersiar di media, hasil audit kerugian daerah kira-kira 173 miliar rupiah.
Mengapa jumlahnya turun? Karena dalam audit investigasi perhitungannya sudah memasukkan komponen yang berpengaruh.
Audit yang belum final
Namun demikian, indikasi kerugian daerah hasil audit investigasi BPK hendaknya tidak dianggap final. Sebab jika dalam penyelidikan KPK ternyata kasus masuk Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) dan sudah ditentukan tersangkanya, berarti kasus berlanjut ke tahap penyidikan. Pada tahap ini, KPK akan minta kepada BPK untuk ‘Penghitungan Kerugian Negara’ (PKN).
Dengan demikian cukup jelas, BPK memiliki kewenangan untuk menentukan ada atau tidak adanya kerugian negara. Dalam posisinya sebagai auditor negara berdasarkan Undang-Undang dengan para pejabat yang disumpah, tentu mereka bekerja sesuai norma dan pranata hukum yang ada.
Penghitungan Kerugian Negara, didasarkan pada dua aspek yang dominan. Yaitu masalah letak tanah dan nilai tanah. Jadi walaupun pada sertifikat tanah HGB yang dibeli tertulis alamat Jl. Kyai Tapa dan alamat SPPT PBB juga dengan alamat Jl. Kyai Tapa, tidak sertamerta menjadi penghitungan nilai tanah.
Tanah RSSW terdiri dua bidang tanah, dengan sertifikat Hak Milik dan HGB. Terpagar dalam satu pagar dan satu pintu menghadap Jl. Kyai Tapa. Dengan demikian logis, alamat administrasi kedua bidang tanah tersebut Jl. Kyai Tapa.
Tetapi kaitan nilai tanah dalam transaksi jual beli, apakah tiap bidang sama? Sebagai ilustrasi, samakah harga rumah dalam kawasan perumahan yang memiliki alamat sama? Tentu tidak sama, tergantung letak bidang tanahnya.
Pemerintah atau siapapun dalam kehidupan ini, beli sesuatu itu jelas bukan beli keterangan dalam surat. Tetapi beli sesuatu itu secara fisik ada barangnya dan sesuai dengan dokumennya. Dalam kaitan pemerintah membeli tanah, jelas bukan beli alamat, tetapi secara fisik letak tanah harus dinyatakan dalam sebuah ”Peta Bidang Tanah”.
Perpres No 71/2012 mengatur, Peta Bidang Tanah ini sebagai produk Tim Pengadaan Tanah yang dibentuk sebelum pembelian tanah. Dalam kasus pembelian sebagian tanah RSSW ini, konon tidak ada tim yang dibentuk oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sehingga tidak ada produk peta bidang tanah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan.
Masyarakat luas sudah mengetahui, bahwa tanah yang dibeli Pemprov DKI bersertifikat HGB, letaknya tidak di Jl. Kyai Tapa, tetapi di Jl. Tomang Utara. Dengan kata lain, jika kita mencari tanah tersebut di Jl. Kyai Tapa tidak akan diketemukan. Padahal dokumen menyebut membeli tanah di Jl.Kyai Tapa dengan harga sesuai NJOP Jl. Kyai Tapa, Rp 20.755.000/m2.
Andaikan proses sesuai aturan, maka melalui Peta Bidang Tanah akan diketahui bahwa tanah HGB ada dalam Zona Nilai Tanah Jl. Tomang Utara. NJOP di Jl. Tomang Utara hanya Rp7.445.000/m2.
Sesungguhnya, masalah NJOP hanyalah dampak ikutan saja. Terpenting, adakah tanah yang dimaksud dalam dokumen? Karena tidak diketemukan tanah sebagaimana disebut dalam dokumen pembelian, tidak menutup kemungkinan Penghitungan Kerugian Negara menjadi sebesar uang yang telah dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta, sebesar Rp.755.689.550.000,- atau “total lost”. Kerugian negara yang sangat fantastis. Sejumlah uang yang sesungguhnya sudah bisa dimanfaatkan untuk membangun Rumah Sakit Kanker dengan peralatannya di atas tanah milik Pemprov.
KPK sekarang dan pencarian niat jahat
KPK era pak Agus saat ini, beberapa waktu yang lalu secara berurutan dalam penggal-penggal waktu tertentu, menyatakan sudah membentuk Satgas kasus RSSW, sedang mencari dua alat bukti, sudah memeriksa sekian puluh saksi, dan sedang minta pendapat para ahli. Terakhir, KPK sedang mencari ‘niat jahat’. Walaupun dalam undang-undang hal itu bukan pekerjaan KPK.
Sesungguhnya KPK tinggal mencari dua alat bukti yang menunjukkan apakah perbuatan yang diduga melanggar UU No 19/2012, Pepres No 71/2012 dan Permendagri No 13/2006 itu benar adanya? Adakah tertabraknya aturan-aturan tersebut yang mengakibatkan terjadinya kerugian daerah sebagimana yang diketemukan BPK?
Di sisi lain yang luput dari teropongan publik, bahwa KPK memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan audit forensik. Jika benar, Ketua YKSW, Kartini Mulyadi mengatakan hanya menerima sebagian uang, melalui audit forensik KPK bisa menelusuri penyebaran uang pembayaran Pemprov DKI Jakarta. Inikah yang akan menjadi kejutan?
Kombinasi dua temuan antara BPK (kerugian negara) dan KPK (pelanggaran hukum) inilah yang akan menentukan status kasus RSSW.
Akankah temuan KPK bersinergi dengan kerugian negara sebagai temuan BPK, ataukah sebaliknya? Jika sinergi tersebut tidak terjadi, patut diantisipasi kemungkinan munculnya persoalan hukum.
Samakah pandangan para komisioner KPK dengan beberapa pakar hukum yang mengatakan, ketika terjadi pelanggaran aturan, baik yang terkecil pun seperti kebijakan dan tanda tangan, namun berakibat terjadinya kerugian negara, maka kasus tersebut adalah Tipikor?
Pendapat ini logis, karena awal korupsi disebabkan terjadinya maladministrasi yang disengaja atau tidak. Mari kita tunggu dua pekan mendatang, sesuai janji Ketua KPK yang akan memberi info kejutan.
Penulis: Prijanto (pengamat masalah ibu kota)
Artikel ini ditulis oleh: