Sebelum hasil Ijtima Ulama jilid II diumumkan, banyak pihak sudah memprediksi bahwa arahnya tetap mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga, meskipun keputusan ijtima ulama jilid I yang mengusulkan Ustadz Abdul Somad (UAS) dan Ketua Dewan Syuro PKS Salim Segaf Al-jufri untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo tidak terakomodir..
Alasan mengapa Ijtima Ulama jilid II tetap memberikan dukungan kepada pasangan Prabowo-Sandi, karena sebagian besar ulama yang tergabung dalam forum Ijtima preferensi politiknya lebih condong kepada figur capres yang menjadi kompetitor kandidat petahana Joko Widodo.
Sementara dalam realitasnya, Pilpres 2019 hanya ada dua pasangan. Maka secara psikologis, grup ulama yang terlibat dalam forum Ijtima Ulama jilid II ini cenderung lebih dekat ke pasangan Prabowo-Sandi.
“Saya sendiri menilai hasil ijtima ulama yang mendukung pasangan Prabowo-Sandi merupakan hak politik warga negara yang memiliki hak pilih. Itu adalah ekspresi demokrasi,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo kepada redaksi.
Lalu apakah keputusan Ijtima Ulama jilid II ini mewakili seluruh umat Islam? Menurut dia tidak, karena ulama yang lain memberikan dukungan kepada pasangan Jokowi – KH Ma’ruf Amin. Karenanya, jika ada klaim bahwa hasil Ijtima Ulama jilid II adalah representasi seluruh umat Islam jelas terbantahkan.
Lalu bagaimana pengaruh sikap ulama terhadap umat Islam di akar rumput? Berdasarkan survei, perilaku pemilih di Indonesia, kedudukan sosial ulama atau pemuka agama memiliki pengaruh besar. Meskipun bukan satu-satunya faktor yang menjadi pertimbangan masyarakat untuk memilih calon presiden, tapi posisi ulama atau pemuka agama dalam mempengaruhi pilihan cukup signifikan.
Karenanya, sikap dukungan ulama tentu memiliki pengaruh di kalangan umat. Secara sederhana, peta kekuatan ulama tergantung seberapa banyak pengikut dan jamaahnya. Ulama tertentu memiliki segmen pengikut masing-masing. Meski demikian ada sebagian pemilih dalam menentukan pemimpin, mereka memiliki pertimbangan dan alasan lain. Dengan kata lain tidak terpengaruh oleh sikap ulama yang mendukung pasangan calon.
Selain itu, ada kecenderungan umat Islam sudah semakin cerdas dalam menilai suatu fenomena yang terjadi. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, umat Islam di akar rumput sudah bisa membedakan kelebihan dan kekurangan calon pemimpin.
Masyarakat, katanya, sudah bisa membedakan mana kepentingan agama dan mana kepentingan politik yang sekadar menggunakan Islam dan ulama sebagai label. Oleh sebab itu, hasil Ijtima Ulama jilid II ini nantiya akan dipandang oleh umat sekadar himbauan yang tidak memiliki kekuatan mengikat seluruh umat Islam.
Putusan Ijtima Ulama jilid II ini, yang mengarahkan dukungan ke pasangan Prabowo-Sandi merupakan bagian dari ekspresi demokrasi, karena hal itu merupakan hak politik setiap warga negara.
“Yang tidak boleh adalah menodai demokrasi dengan menggunakan masjid sebagai tempat kampanye,” kata dia.
Hal ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dalam Pasal 280 Ayat 1 Huruf (h) yang menyebutkan Pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Pasal 280 Ayat 1 Huruf (c) melarang kampanye yang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Peserta Pemilu yang lain.
Meskipun larangan itu ditujukan untuk pelaksana, peserta dan tim Kampanye tetapi norma tersebut hendaknya menjadi pedoman bagi seluruh masyarakat, apalagi para ulama yang menjadi panutan umat.
Masjid adalah tempat ibadah. Karenanya, menjadikan tempat ibadah dan atau lingkungan di kawasan tempat ibadah sebagai tempat kampanye atau kegiatan politik praktis justru menggeser fungsi utama sebagai tempat beribadah. Lebih dari itu, menggunakan fasilitas ibadah sebagai tempat kampanye bisa menimbulkan disharmoni dan segregasi sosial di masyarakat. (Wisnu)