Jakarta, Aktual.com – Kememterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim telah berhasil menekan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik melalui berbagai kebijakana fiskal maupun upaya non fiskal agar harga penjualan listrik terjangkau oleh masyrakat.

Diantara regulasi yang mempengaruhi turunya BPP adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batu bara untuk Pembangkit Listrik dan Pembelian Kelebihan Tenaga Listrik (Excess Power).

“Kita akan berusaha supaya tarif makin terjangkau dengan cara efisiensi. Kami juga sudah mendukung PLN untuk efisiensi material utama seperti maintenance, transmisi dan sebagainya. Harganya harus wajar,” kata Menteri ESDM, Ignasius Jonan di Jakarta, Rabu (5/7).

Namun kendati energi primer relatif bisa dikendalikan, yang menjadi kerisauan Jonan adalah salah satu faktor lain yang menjadi unsur mempengaruhi penentuan BPP adalah berupa nilai tikar rupiah.

Dia berharap kurs rupiah makin kuat sehingga nilai investasi dalam bentuk dollar bisa diimbangi dengan kemampuan daya beli masyarakat.

“Satu tantangan yaitu kurs mata uang. Karena semua kontrak IPP itu kurs nya dollar. Ini upaya tidak mudah, karena banyak kontrak IPP yang sudah jalan itu nggak bisa diubah,” katanya.

Sebelumnya Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama, Kementerian ESDM, Sujatmiko menambahkan bahwa berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2014, realisasi BPP pembangkitan tenaga listrik PT PLN (Persero) tercatat sebesar Rp1.105 per kilo Watt hour (kWh), kemudian menurun tahun 2015 menjadi sebesar Rp998 per kWh dan kembali turun tahun 2016 menjadi sekitar Rp983 per kWh.

“Tren penurunan BPP tenaga listrik ini merupakan bukti upaya pemerintah untuk mendorong agar PLN semakin efisien dalam penyediaan tenaga listrik. Ini sudah realisasi, jadi bukan lagi rencana atau janji. Kedepan upaya efisiensi akan terus ditingkatkan,” ungkap Sujatmiko.

Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan BPP listrik adalah upaya pengurangan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai bahan bakar pembangkit listrik (fuel mix) PT PLN (Persero). Porsi BBM dalam fuel mix PT PLN (Persero) tahun 2014 sebesar 11,81%, kemudian menurun menjadi 8,58% pada tahun 2015, dan pada tahun 2016 hanya sekitar 6,96%.

Sebaliknya porsi gas bumi dalam fuel mix pembangkit PT PLN (Persero) meningkat dari tahun 2014 sebesar 24,07% menjadi 25,88% tahun 2016. Demikian halnya dengan porsi energi terbarukan yang meningkat dari 11,25% pada tahun 2014, menjadi 12,46% pada tahun 2016.

“Efisiensi dengan strategi fuel mix ini cukup signifikan dampaknya, mengingat biaya energi primer mencapai 66% dari total BPP tenaga listrik. Selain itu, efisiensi juga dilakukan di aspek lainnya seperti susut jaringan atau losses, pemeliharaan, dan pembelian tenaga listrik,” tambah Sujatmiko.

Oleh karena adanya efisien tarif BPP, maka harga penjualan listrik skema adjustment dapat terkendali. Sejak Januari hingga september 2017 nati, tarif adjustment tidak mengalami fluktuasi. Pada tegangan rendah ditetapkan Rp1.467/kWh, tegangan menegah Rp1.114/kWh dan tegangan tinggi Rp996/kWh.

Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan