Ribuan mahasiswa dari berbagai Universitas yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia melakukan aksi long march menuju Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (20/10/2017). Dalam aksinya para mahasiswa menagih janji Jokowi dan segera dilaksanakan sidang rakyat untuk Jokowi - JK. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Satu per satu relawan Presiden Joko Widodo pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu mulai menarik dukungan mereka kepada mantan Walikota Solo ini.

Selama dua hari berturut-turut, dua kelompok menarik diri dari gerbong Jokowi relawan dan menyatakan penyesalannya karena pernah mendukung Jokowi.

Adalah kelompok aktivis Pro Demokrasi (Prodem) yang menarik dukungannya terlebih dahulu. Bahkan, Prodem mengekspresikan hal ini dengan melakukan aksi di depan Istana Negara, Jakarta, Jum’at (16/3) lalu.

Tidak hanya itu, Prodem bahkan menyatakan tobat nasuha dan tidak ingin kembali mendukung Jokowi di kemudian hari.

Sehari berselang, giliran Komunitas Relawan Sadar (Korsa) yang menyatakan menyesal pernah mendukung Jokowi.

Kedua relawan ini menilai Jokowi gagal menepati janji kampanye, gagal dalam menghentikan utang luar negeri, dan gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Fenomena ini pun dianggap sesuatu hal yang biasa oleh Direktur Eksekutif IndoBarometer, M Qodari. Menurutnya, hal yang sama juga dapat terjadi pada rival politik Jokowi, Prabowo Subianto.

“Biasa itu, di mana-mana begitu ada yang kapok dukung Jokowi, ada yang kapok dukung Prabowo. Sama aja itu,” kata Qodari di Jakarta, Sabtu (17/3) kemarin.

Qodari menambahkan, menarik dukungan bukanlah hal yang asing dalam dunia aktivis dan partai politik.

Terlebih jika dukungan itu menyangkut seorang penguasa seperti Presiden. Menurut Qodari, seorang penguasa yang akan melanggengkan kekuasaanya tidak akan mempermasalahkan jika ditinggalkan sejumlah kelompok aktivis yang menjadi pendukungnya selama ini.

Ia berpendapat, yang paling penting bagi penguasa itu adalah suara dalam Pemilu dan partai politik yang menjadi kendaraannya.

“Aktivis itu nggak penting, yang penting itu parpol dan masyarakat,” tandasnya.

Bayar Janji

Hal yang senada pun diungkapkan oleh pendiri Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Hendri Satrio. Ia pun tidak kaget dengan tren penurunan elektabilitas Jokowi sebagai petahana untuk pertarungan Pilpres 2019 mendatang.

Tren penurunan ini disebut Hendri lantaran Jokowi gagal memenuhi harapan masyarakat Indonesia selama menjabat sebagai Presiden.

“Wajar saja turun. Ada beberapa aspek salah satunya tidak tercapainya ekspektasi yang diberikan kepada rakyat,” ujarnya.

Hendri pun memaparkan beberapa hal yang gagal dipenuhi oleh Jokowi. Hal pertama adalah tak kunjung berkurangnya utang pemerintah.

Salah satu janji Jokowi pada masa kampanye Pilpres lalu adalah tidak akan berutang ke luar negeri. Nyatanya, utang Indonesia kini justru membludak hingga Rp 4.000 triliun.

Janji kedua adalah terkait tak adanya bagi-bagi kekuasaan di kabinet bagi partai koalisi. Namun hal ini pun jauh panggang dari api, faktanya Jokowi justru mempraktikkan bagi-bagi kekuasaan di dalam kabinet.

“Sekarang kan rakyat dapat menilai sendiri, apakah janjinya ditepati atau tidak. Ada juga yang dukung terus, ada yang tidak dukung lagi. Intinya tepati janji biar bisa dipercaya lagi,” ujar pria yang juga menjadi dosen di Universitas Paramadina, Jakarta, ini.

“Kalau kinerja Jokowi bisa dinilai oleh masyarakat sendiri, sehingga merekalah yang tahu dan merasakan secaya nyata kinerjanya. Nantinya, itu akan menjadikan indikator apakah tetap setia dengan Jokowi atau pindah haluan,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan