Jakarta, Aktual.com – Pemerintah pusat diharapkan juga mengusut dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan selama masa moratorium megaproyek pembangunan 17 pulau buatan di Pantai Utara (Pantura) Jakarta.
“Saya harap, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga mengusut masalah ini,” ujar Ketua nonaktif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) DKI, Boy Bernadi Sadikin, saat dihubungi Aktual.com di Jakarta, Sabtu (30/4).
Menurutnya, pelanggaran tersebut sangat nyata. Ini tercermin dengan keluarnya beberapa izin pelaksanaan reklamasi bagi sejumlah pengembang oleh Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sejak Desember 2014 hingga 2015 melalui Keputusan Gubernur (Kepgub).
“Lima izin pelaksanaan tersebut jelas menabrak peraturan perundang-undangan di atasnya, karena tidak tercantum di konsideran menimbang dalam Kepgub,” beber mantan wakil ketua DPRD DKI ini. Salah satu UU yang dilanggar adalah UU No. 1/2014.
Putra sulung eks Gubernur DKI era 1966/1977, Ali Sadikin itu menambahkan, pelanggaran konstitusi tersebut sangat fatal. Sehingga, kepala daerah dapat diberhentikan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Disisi lain, Boy memaparkan, berlarut-larutnya paripurna pengesahan dua raperda terkait reklamasi tidak ada keterkaitan dengan suap. Pasalnya, sebagian besar anggota dewan yang tidak hadir pada forum tertinggi DPRD itu, memiliki motif berbeda.
“Pertimbangan mereka tidak hadir paripurna sehingga tidak kuorum, tentu bukan karena suap. Tapi, berkeyakinan penuh reklamasi hanya menguntungkan pengembang dan mengabaikan kehidupan masyarakat sekitar, seperti nelayan,” paparnya.
“Saya saat masih menjabat ketua (PDI-P DKI), juga telah menyerukan kepada 28 anggota Fraksi PDI-P agar menunda pengesahan, karena sebelumnya, ada puluhan perwakilan nelayan dan organisasi nelayan yang menemui saya untuk meminta dukung moril dan politik. Jadi, bukan soal tarik-ulur 5 atau 15 persen kompensasi tambahan bagi pengembang,” tandas Boy mengingatkan.
Artikel ini ditulis oleh: