“Sangat-sangat jarang mengeluarkan kata lupa. Kedua, bila kemungkinan pemeriksaan terkait merugikan dirinya atau jaringannya akan cenderung lebih sering mengucapkan kata ‘lupa’,” kata dia.

Dari dua makna di atas, ia mengatakan, penggunaan kata “lupa” sangat berpotensi sebagai upaya mengelabui, atau bagian dari strategi berbohong terselubung.

Dari aspek komunikasi, bila seseorang telah berbohong tentang sesuatu akan cenderung melakukan kebohongan berikutnya untuk menutupi kebohongan sebelumnya.

“Demikian seterusnya. Kecuali muncul kesadaran baru, berupa ketulusan. Karena itu, ucapan kata ‘lupa’ harus dicari makna yang sesungguhnya dengan analisis mendalam dengan pendekatan semiotika komunikasi,” kata dia.

Selain itu, untuk menghentikan kebohongan dalam suatu proses hukum, tidak ada jalan lain bagi penegak hukum, kecuali harus “membenturkan” pendapat mereka dengan fakta yang sangat valid dan kredibel. (ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka