Jakarta, Aktual.com – Guru Besar Hukum Pidana UII Yogyakarta Prof Mudzakkir menilai Pemprov DKI tunduk pada kepentingan koporasi atau pengembang proyek reklamasi Teluk Jakarta.
“Otoritas yang ada di DKI Jakarta tunduk pada kepentingan korporate, jelas itu,” kata Mudzakir, kepada Aktual.com, di Yogyakarta, Senin (23/5) lalu.
Menurut dia, kasus suap raperda reklamasi pun merupakan bagian dari upaya pengembang mencari justifikasi (pembenaran) demi proyek senilai Rp500 triliun terealisasi. “Agar pengembang memperoleh dasar hukum atas proyek reklamasi. Artinya secara implisit diakui bahwa hukum yang dibuat itu menjadi subordinasi korporate,” ucap dia.
Ironisnya, Presiden Joko Widodo pun mengakui itu saat memanggil Menko Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri KLH Siti Nurbaya Bakar, Menteri PU dan Pera Basuki Hadimuljono ke Istana Negara, 27 April lalu.
“Presiden menekankan bahwa project ini tidak boleh di drive atau dikendalikan oleh swasta. Tetapi sepenuhnya dalam kontrol pemerintah, dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat dan juga Pemerintah Daerah yaitu DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat,” kata Seskab Pramono Anung mewakili presiden.
Tapi jika dibaca kembali alur reklamasi Teluk Jakarta, akan segera terlihat jika selama ini Ahok yang bergerak sendiri bersama pengembang, tanpa melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetangganya, yakni Pemprov Jabar dan Banten. Bahkan Ahok juga tidak melibatkan DPRD DKI dalam memberikan izin pelaksanaan reklamasi lewat Keputusan Gubernur.
Presiden dan Mendagri patut dipertanyakan
Ketika sudah terang benderang siapa yang telah disetir oleh pengembang, pertanyaan pun muncul. Mengapa Ahok tidak diberi sanksi oleh Jokowi atau Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo?
Menanggapi ini, Direktur Eksekutif Celgor (Center for Local Government Reform) Budi Mulyawan berpendapat, presiden dan mendagri pun harusnya juga dipertanyakan.
“Karena patut diduga mereka (Jokowi dan Mendagri) juga telah melanggar Undang-Undang ketika terus lakukan pembiaran dan justru melindungi Ahok yang jelas lakukan pelanggaran. Berarti mereka bisa dibilang ikut turut serta dalam rusaknya sistem tata negara dan sistem politik Indonesia,” ujar Budi kepada Aktual.com.
Sambung dia, pemerintah bisa dianggap sudah tidak amanah ketika membangun kekuatan politik bukan untuk kepentingan bangsa, tapi kepentingan investor yang terlihat dalam kebijakan Ahok.
DPR RI menurut Budi harus turun tangan menyikapi ini dan tidak bisa diam begitu saja. Ketika presiden, dan gubernur memaksakan keinginannya sehingga harus menabrak sistem perpolitikan dan tata negara.
“Di sini ada ketidakbenaran. DPR RI harus mempermasalahkan hal ini. Kalau presiden dan pemerintah nyata-nyata sudah tidak amanat dengan cita cita proklamasi, suka tidak suka harus masuk proses hukum dan bisa berujung impeachment atau pemakzulan,” ucap dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis