Ekonom senior yang juga mantan Menteri Kemaritiman Rizal Ramli (tengah) bersama Kelompok Tani Sahabat melakukan panen raya di Kampung Penggalang, Ciruas, Serang, Banten, Selasa (13/2). Rizal Ramli bersama petani setempat mendesak pemerintah agar menghentikan impor beras agar tidak menjatuhkan harga gabah dalam negeri karena masa panen raya sudah mulai. Jika irigasi persawahan dapat ditata dengan baik, maka Indonesia bisa memanen padi sebanyak tiga kali dalam setahun. Karena memiliki sinar matahari dan sumber air yang berlimpah. AKTUAL/HO

Jakarta, Aktual.com – Ekonom senior Rizal Ramli menegaskan bahwa dalam tata kelola beras nasional jangan mengedepankan kebijakan yang sifatnya neoliberal karena hal itu dinilai tidak akan bisa memperkuat sektor pangan yang berkelanjutan.

“Bagi neoliberal tidak penting ‘pricing policy’ (kebijakan mematok harga bagi komoditas pangan,” kata Rizal Ramli dalam “Tata Kelola Perberasan serta Dampaknya Terhadap Stabilitas Nasional” di Jakarta, Selasa (20/3).

Padahal, ujar Rizal Ramli, sejumlah negara maju juga menggunakan “pricing policy” untuk sejumlah komoditasnya yang dihasilkan di dalam negara tersebut.

Dengan demikian, kata Kepala Bulog pada masa Presiden Abdurrahman Wahid itu, ketika mengalami panen maka kalangan petani juga mendapatkan untung besar.

Rizal juga berpendapat bahwa hal itu juga menjelaskan mengapa LDP (Partai Liberal Demokrat) dapat menjadi partai politik yang terus berkuasa di Jepang sejak periode Perang Dunia Kedua.

Untuk itu, mantan Menko Perkonomian itu juga menegaskan pentingnya bahwa kebijakan itu tidak hanya pro terhadap sektor pertanian, tetapi juga pro terhadap para petani.

Ia menyatakan bahwa agar stabilitas pangan terjaga dengan baik antara lain dengan menerapkan “pricing policy” untuk sejumlah komoditas pangan atau pertanian.

Rizal juga menyoroti mengapa pemerintah hanya fokus menaikkan produksi pangan tetapi yang seharusnya lebih diperhatikan adalah kesejahteraan petani.

“Sebab kalau untung, petani juga pasti akan senang untuk menaikkan produksi,” ucapnya.

Pembicara lainnya, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa menyoroti masih adanya perbedaan data produksi seperti antara Kementan dengan lembaga FAS-USDA dari Amerika Serikat yang perbedaannya bisa mencapai 27.9 persen pada 2017.

Selain itu, ujar Dwi Andreas Santosa, bbila dilihat dari citra satelit juga ada perbedaan dengan data yang dimiliki Kementan.

“Luas panen menurut kementan adalah 15,7 juta hektare, sedangkan citra satelit 11,3 juta hektare. Ada perbedaan yang sangat signifikan,” paparnya.

Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi saat ini sudah cukup baik untuk mengendalikan inflasi, tetapi pada akhir 2017 dan awal 2018 ada tren inflasi pangan kembali naik.

“Kalau pasokan banyak harga harusnya turun. Justru yang berkorelasi terhadap harga adalah berapa banyak beras yang tersedia di pasar,” ucapnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara