“Dari petunjuk kesurupan di dua tempat berbeda itu petunjuknya sama yaitu tidak diizinkan untuk mengarak ogoh-ogoh. Sebelas tahun berselang setelah peristiwa itu, warga kembali membuat ogoh-ogoh. Pada tahun 1995 warga mencoba kembali membuat ogoh-ogoh. Alasan mereka, kenapa Desa Pakraman Renon tidak boleh membuat ogoh-ogoh. Tapi hal yang sama terulang lagi. Begitu diupacarai ogoh-ogoh tersebut hidup. Sehingga akhirnya ogoh-ogoh kembali dibakar, tidak jadi diarak.”

Dari hasil kajian, Desa Pakraman Renon termasuk desa yang cukup tua yang ada di Bali.‎ Ia telah ada pada tahun 835 Saka atau 913 Masehi, saat Bali dipimpin oleh Raja Kesari Warmadewa. Diyakini oleh masyarakat pada saat itu jika ada seorang pengembara yang sehari-harinya hanya bertapa, bersemedi. Sang petapa memiliki keturunan. Anaknya kemudian melahirkan dua orang anak bernama Irngan dan Irngin. Cucu sang petapa ini mengikuti jejak sang kakek sebagai petapa. “Irngan dan Irngin inilah asal mula keberadaan Desa Pakraman Renon ini.”

Awalnya, Sutama melanjutkan, Irngan dan Irngin yang tengah khidmat bersemedi mendapat kekuatan dari Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja, kakak beradik yang sama-sama sakti ini berbeda pendapat.

“Yang satu melaksanakan ilmu hitam dan satunya lagi ilmu putih. Akhirnya terjadi perang. Begitu perang, perahunya terdampar di pantai selatan‎. Perahu itu adalah jong, pecahannya itu adalah belah. Pura pertama kami itu namanya Blahanjong. Bidaknya terdampar di Lembongan antara Nusa Penida dan Nusa Lembongan. Makanya pulau di sana mirip bidak Jukung.”

Setelah perang usai, jumlah penduduk semakin berkurang di pantai selatan. “Begitu ada ikan terdampar, tidak habis dikonsumsi, nah ini menimbulkan penyakit. Hijrah lah penduduk tersebut ada yang ke Renon, Kesiman, ada juga yang ke Sukawati, Gianyar. ‎Khusus yang hijrah ke Renon membawa seperangkat gamelan perang yang namanya Bery.”

Gong Bery itu sekarang dipakai untuk menabuh pada tarian Tari Baris China. “Itu yang kita yakini sekarang. Baris China ini yang kesurupan, tidak mengizinkan membuat ogoh-ogoh.”

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu