Jakarta, Aktual.com — Penyidikan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP pada 2011-2012 masih berlangsung di Komisi Pemberantasan Korupsi. Terhitung sudah satu tahun setengah KPK melakukan penyidikan atas kasus tersebut.
Pada 22 April 2014 silam, KPK resmi menetapkan Direktur Pengelolaan Informasi, Administrasi Kependudukan di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Sugiarto sebagai tersangka. Sejak itu pula penyidikan korupsi e-KTP dimulai.
Dalam tender proyek e-KTP setidaknya terdapat enam perusahaan pelaksana, baik BUMN maupun swasta. Keenam perusahaan itu yakni, PT Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sandipala Arthaputra dan PT Paulus Tanos. Perusahaan-perusahaan tersebut tergabung dalam satu Konsorsium PT PNRI sebagai pelaksana proyek e-KTP.
Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dilakukan pada semester I 2012, pelaksanaan tender e-KTP disimpulkan melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pelanggaran tersebut menurut BPK berimbas kepada penghematan keuangan negara.
Dalam auditnya, BPK menemukan ketidakefektifan pemakaian anggaran sebanyak 16 kasus dengan nilai Rp 6,03 miliar, tiga kasus Rp 605,84 juta. Selain itu BPK juga menemukan pelanggaran dalam proses pengadaan proyek e-KTP yang mengakibatkan indikasi kerugian negara.
Terdapat lima kasus yang diindikasikan merugikan keuangan negara senilai Rp 36,41 miliar, potensi kerugian negara sebanyak tiga kasus senilai Rp 28,90 miliar.
Menurut hasil audit BPK juga disimpulkan bahwa konsorsium rekanan yang ditunjuk tidak dapat memenuhi jumlah pencapaian e-KTP 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak. Hal tersebut terjadi karena Konsorsium PNRI tidak berupaya memenuhi jumlah penerbitan e-KTP 2011 sesuai dengan kontrak.
Dalam audit BPK disebutkan bahwa terdapat persekongkolan yang dilakukan antara Kosorsium PT PNRI dengan Panitia Pengadaan. “Kongkalikong” itu terjadi saat proses pelelangan, yakni penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Menurut BPK, penyusunan dan penetapan HPS bukan berdasarkan data harga pasar setempat yang diperoleh dari survei menjelang dilaksanakannya lelang. Pemilihan dan penetapan untuk beberapa peralatan menggunakan harga uang ditawarkan oleh Konsorsium PT PNRI yang memenangkan pelelangan.
Padahal, proyek pengadaan e-KTP ini membutuhkan anggaran negara sebesar Rp 5,8 triliun, dengan rincian untuk 2011 dananya sebesar Rp 2,26 triliun dan 2012 alokasi anggaraanya senilai Rp 3,5 triliun.
Dalam menangani kasus ini, KPK baru menjerat Sugiarto sebagai tersangka. Belum terdapat pihak lain yang “menemani” Sugiarto untuk mempertanggungjawabkan korupsi tersebut. Padahal, KPK sendiri telah memeriksa banyak saksi.
Bukan hanya itu. Guna menemukan jejak-jejak tersangka dalam kasus tersebut, pihak KPK juga telah melakukan serangkaian penggeledahan. Untuk pihak pemerintah yang digeledah antara lain, Ditjen Dukcapil Kemendagri kantor serta PT PNRI. Sedangkan untuk pihak swasta yang digeledak yakni, kantor PT Quadra Solution dan PT LEN Industri.
Menanggapi penanganan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP, Pelaksana tugas (Plt) komisioner KPK Indriyanto Seno Adji menegaskan jika penyidikan kasus tersebut masih terus berjalan.
“Masih terus pendalaman. Kan tim harus turun lapangan ke tempat-tempat yang terkait dengan pelaksanaan e-KTP tersebut di daerah,” kata Indriyanto kepada Aktual.com, Kamis (29/10).
Namun demikian, ketika disinggung seberapa jauh penanganan kasus e-KTP, Indriyanto enggan menjelaskan. Dia menegaskan, pihaknya masih terus menggali pola korupsi kasus tersebut.
“Intinya masih turun lapangan,” kata pakar hukum pidana Universitas Indonesia itu.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu