Yogyakarta, Aktual.com – Kesultanan dan Pakualaman Yogyakarta, tidak hanya memelihara jaring kekuasaan secara kultural sosial dan politik, melainkan juga dari sisi ekonomi dan bisnis.

Hal tersebut diungkap dalam penelitian yang dilakukan Kus Sri Antoro dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Terdapat setidaknya 10 jaring investasi bisnis berskala besar yang mereka bangun di provinsi pemegang hak keistimewaan ini.

“Ini hanya yang terdaftar, belum termasuk proyek-proyek di atas tanah kas desa, itu lebih besar lagi,” ujar Kus saat dihubungi Aktual.com, Senin (18/7). Kesepuluh investasi tersebut antara lain:

1. PT Jogja Magasa Iron, berlokasi di Wates Kulonprogo. GKR Mangkubumi/Pembayun (putri pertama Sultan HB X) menjabat sebagai Komisaris dan BRM Haryo Seno (Pakualaman) sebagai Direktur Utama.

Kontrak Karya industri seluas 3000 Ha yang ditandatangani November 2008 ini merupakan proyek bahan galian pasir besi pertama di pulau Jawa yang mengembangkan “Integrated Iron Making Industry”. Cadangan besi diperoleh dari konsentrat pasir besi sebesar 33,6 juta ton Fe dengan produksi sekitar 1 juta ton per tahun. Proyek ini menambang bahan galian pasir besi (iron sand) dengan sistem tambang terbuka pengolahan melalui proses konsentrasi dan smelting untuk memproduksi pig iron (besi kasar) dengan kandungan Fe 94%.

Kementerian ESDM mencatat total investasi sebesar USD 1.1 milyar, antara lain berupa stock pile USD 5 juta, pemasangan rel (rail sliding) USD 6 juta, pembangkit listrik 350 MW senilai USD 350 juta, fasilitas pelabuhan USD 10 juta dan investasi pertambangan USD 600 juta.

Diketahui, sejak 10 tahun silam warga petani lahan pasir pantai (PPLP-KP) telah berseteru dengan pihak Pakualaman lantaran klaim sepihak status PAG atas lahan eksplorasi yang kuasa tambangnya dimiliki PT Jogja Magasa Iron. Tak hanya itu, PT JMI juga dianggap telah mencemari lingkungan.

2. PT. Madubaru PG Madukismo, berlokasi di Kasihan Bantul. Sultan HB X yang juga kader Partai Golkar ini menguasai 65% saham serta GKR Mangkubumi menjabat sebagai Komisaris Utama pada perusahaan yang memproduksi gula dan ethanol ini. Seperti dilansir Antara (29/4), tahun ini PG Madukismo menarget produksi 41.250 ton gula yang berasal dari 550.000 ton tebu gilingan.

3. PT. Yarsilk Gora Mahottama, berlokasi di Imogiri Bantul. GKR Mangkubumi memimpin perusahaan penghasil benang sutera ini sebagai Direktur Utama. Sejak tahun 1994, ulat sutera alam Attacus Atlas digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi kain batik serta kerajinan lain, produk yang dihasilkan dikenal dengan nama Royal Silk. Pemasarannya sebagian besar untuk ekspor lantaran harganya yang lebih tinggi dibanding jenis sutera lain.

4. PT. Yogyakarta Tembakau Indonesia, berlokasi di Sewon Bantul. GKR Condrokirono (putri kedua Sultan HB X) pada 2012 tercatat sebagai Direktur Utama. Perusahaan yang memproduksi rokok Sigaret Kretek Tangan ini merupakan Mitra Produksi Sigaret dari PT. HM Sampoerna Tbk.

5. PT. Indokor Bangun Desa, berlokasi di Srandakan Bantul. GKR Mangkubumi tercatat sebagai pemilik dari perusahaan yang bergerak dibidang budidaya udang untuk ekspor ini.

6. PT. Mataram Mitra Manunggal (BPR Mataram). Perusahaan finansial perbankan ini dipimpin GKR Mangkubumi sebagai Komisaris Utama serta memiliki 6 unit cabang di Yogyakarta.

7. Jogja City Mall. Berlokasi di Jl Magelang KM 6 Sleman Yogyakarta. Hypermall yang didirikan tahun 2013 ini berada dalam satu kawasan dan pengelolaan dengan The Sahid Rich, hotel berbintang 4. Keduanya dipimpin oleh KGPH Hadiwinoto (adik kandung Sultan HB X) selaku Komisaris melalui PT. Garuda Mitra Sejati.

8. Ambarrukmo Plaza & Royal Hotel. Pusat perbelanjaan modern yang juga terintegrasi dengan hotel bintang 5 berstandar internasional pertama di Indonesia ini dimiliki oleh Sultan HB X serta berlokasi di Jl Laksda Adisucipto, salah satu jalur strategis yang memiliki aktifitas dan mobilitas ekonomi tinggi di kota Yogyakarta.

9. PT Java Messa Sarana, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengelolaan perparkiran baik di perkantoran, pusat perbelanjaan (mall), rumah sakit, hotel dan tempat wisata di Yogyakarta. KPH Wironegoro (suami GKR Mangkubumi) diketahui sebagai Komisaris.

10. Jogja TV, stasiun televisi swasta pertama di Yogyakarta. KGPH Prabukusumo (adik tiri Sultan HB X) diketahui menjabat sebagai Komisaris Utama melalui PT. Yogyakarta Tugu Televisi. Februari 2012, siarannya diterima di seluruh Indonesia dan luar negeri melalui antena parabola dengan 80 % konten program yang bermuatan lokal.

Kus menambahkan, jaringan bisnis ini juga dikuatkan dengan gurita institusi-institusi pendukung baik di ranah politik, ekonomi maupun sosial disisi lain dimana dijabat oleh keluarga Kasultanan serta Pakualaman.

Diantaranya, KADIN DIY yang diketuai GKR Mangkubumi (2015 – sekarang), KONI DIY diketuai KGPH Prabukusumo (2013-2016), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia DIY dipimpin KPH Wironegoro (2009-2014), Asosiasi Hutan Tanaman Rakyat Mandiri Indonesia diketuai KPH Purbodiningrat (2011 – sekarang), Jogja Investment Forum dikepalai KBPH Hadiwinoto, DPD KNPI diketuai GKR Condrokirono (2015-2020), hingga Karang Taruna Provinsi DIY dikepalai GKR Mangkubumi (2014 – sekarang) serta masih banyak lagi.

“Ini bukti relasi kuasa yang dibangun, fungsinya melancarkan dan menyelamatkan investasi di lingkar mereka (Kesultanan dan Pakualaman),” ungkapnya.

Kerajaan bisnis serupa, sambung Kus, sesungguhnya telah dirintis sejak era Sultan sebelumnya (HB IX). Grup Hamengku Buwono dinilai cukup diperhitungkan dalam kebangkitan kapitalisme di Indonesia, terlihat dari Sultan HB IX yang menduduki posisi strategis di era Soekarno dan Soeharto.

Tahun 1952 (era Soekarno), Sultan HB IX bersama Dr. Sumitro menjadi tujuan mosi tidak percaya DPR terkait dakwaan alokasi illegal terhadap permintaan pemerintah mengimpor kendaraan dan persenjataan yang berhubungan dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Kemudian di era Soeharto, lanjutnya, Sultan HB IX adalah yang termasuk dari salah satu para kapitalis yang turut berkuasa dan bisnisnya berkembang pasca 1965.

“Tulisan George Junus Aditjondro 2011 lalu memperoleh momentumnya hari ini. ‘Keistimewaan’ DIY digagas, dirumuskan, dimobilisasi dan dilegalkan dengan tujuan menyelamatkan kerajaan bisnis Kasultanan atau Pakualaman sekaligus menyambut arus investasi global dengan jaminan efisiensi untuk reproduksi kapital,” kata dia.

(Nelson Nafis)

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Arbie Marwan