Optimisme is the faith that leads to achievement. Nothing can be done without hope and confidence. — Helen Keller.
Ungkapan terkenal Helen Keller, penulis besar yang juga aktivis buta-tuli itu agaknya tepat untuk menggambarkan kehadiran sosok Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi.
Lewat capaian prestasi yang dilaluinya dengan penuh harapan dan kepercayaan diri hingga berhasil menjadi presiden ketujuh Republik Indonesia.
Jokowi dan Jusuf Kalla yang hari ini, 20 Oktober 2014, dilantik dan mengucapkan sumpah jabatannya sebagai presiden dan wakil presiden, akan segera dihadang dengan aneka persoalan bangsa yang akut dan tak kunjung rampung diselesaikan oleh pendahulunya.
Dari warisan utang luar negeri yang terus menggunung dan menjerat leher bangsa, masalah kedaulatan energi yang terus digerogoti mafia migas, angka kemiskinan yang terus membumbung, kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang semakin melebar, korupsi yang kian menggila, praktik ekonomi yang semakin ultra liberal, deindustrialisasi, kedaulatan pangan nasional yang tergerus pangan impor, dan sederet persoalan serius lainnya yang butuh penanganan nyata, serius dan tidak parsial.
Dan pada langkah-langkah nyata nantinya selaku pemegang tampuk kekuasaan eksekutif tertinggi itulah harapan banyak rakyat, khususnya para pendukungnya, diletakkan di pundak Jokowi agar merealisasikan perubaan-perubahan berarti hingga lima tahun ke depan sebagaimana yang telah tercatat dalam janji-janji kampanyenya sebagai Presiden.
Apakah Pesta Rakyat yang digelar di Monas mengiringi hari pelantikannya akan mengawali kesukacitaan dan kepuasan panjang seluruh rakyat Indonesia sampai lima tahun ke depan, atau justru Pesta Rakyat itu sekedar akan menjadi kesukacitaan sekejap yang mengawali kekecewaan dan penderitaan rakyat pada lima atahun ke depan?
Jawabnya, terletak pada sejauh mana kinerja, keseriusan, dan kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemerintahan Jokowi lima tahun ke depan mampu menjawab segenap permasalahan bangsa yang ada secara benar dan berkualitas.
Dari tak dikenal hingga dimaknai sosoknya
Sepulah tahun lalu mungkin tak ada yang mengenal sosok Jokowi, kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya yang memang telah mengenal Jokowi sebelumnya. Sepuluh tahun lalu Jokowi masih berada di hutan-hutan Aceh sebagai pegawai biasa, sebagaimana kebanyakan orang kecil lainnya menjalani kehidupan.
Kemudian ketika banting stir dari pekerjaannya, Jokowi memperoleh momentum yang mengubah dirinya ketika sukses menjadi pengusaha mebel lokal yang mampu menembus pasar internasional. Ketika sebuah momentum politik hadir di hadapannya, Jokowi pun mencoba peruntungannya dengan terjun ke dunia politik. Dan lewat dunia politik-lah Jokowi ternyata mampu bergerak dan melambung ke level nasional.
Kehadiran dan kiprah Jokowi di pentas politik nasional berhasil menyedot perhatian masyarakat secara luas dalam rentang waktu satu dekade terakhir ini. Tentu dengan segenap pro dan kontra yang mengiringinya. Kurang dari sepuluh tahun terakhir saja, sejak kemunculan politik pertamanya pada pemilukada kota Surakarta, namanya perlahan tapi pasti terus meroket bak meteor, mengiringi setiap langkah dan beragam prestasi yang diraihnya.
Setelah menjadi walikota Surakarta selama dua periode kurang (sekitar 7 tahun), kemudian pada tahun 2012 merangkak naik menjadi Gubernur DKI selama kurang dari dua tahun, dan kini terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Sebuah capaian yang masih agak sulit diraih dan menghinggapi tokoh-tokoh lain di pentas nasional, terlebih para tokoh yang tumbuh di era pasca reformasi 1998.
Model kepemimpinan yang dipraktekkan Jokowi demikian khasnya. Salah satu konsen Jokowi adalah membangun sistim birokrasi yang melayani, baik saat menjadi Walikota Surakarta maupun saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tak seperti pejabat publik lainnya, yang mungkin lebih banyak di kantor saat jam kerja, justru Jokowi cuma sekitar satu jam di kantor dan lebih banyak turun ke masyarakat. Mendengar dan menyerap aspirasi dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Lewat aksi-aksi terjun ke masyarakat itulah kata “blusukan” akhirnya menjadi terminologi politik baru yang menasional, sekaligus menjadi aksi politik paling popular diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Sejak awal, langkah-langkah politik dan beragam kebijakan yang dibuat Jokowi, kemudian mampu menerbitkan harapan baru pada banyak kalangan di masyarakat. Langkah politik dan jabatan publik yang digenggam Jokowi, lalu berhasil menyatu dengan harapan masyarakat banyak, yang lalu membuatnya menjadi pusat pemberitaan sekaligus media darling. Beberapa tahun terakhir ini, nyaris tak ada hari tanpa pemberitaan tentang Jokowi. Meski bagi para pengkritiknya, status sebagai media darling yang diperoleh Jokowi merupakan sebuah rekayasa pencitraan media untuk melambungkan Jokowi ke pentas yang lebih tinggi lagi.
Terlepas dari kritik itu, apapun yang dilakukan Jokowi kerap dipandang punya nilai berita oleh media. Pelbagai media mengirimkan wartawannya secara bergantian per-harinya khusus untuk meliput tentang apa yang dilakukan dan dikatakan Jokowi. Efek dari itu tentu saja jangkauan pengenalan masyarakat atas sosok Jokowi pun semakin meluas. Penghayatan masyarakat atas sosoknya pun semakin intens. Bahkan sampai anak-anak balita yang menonton televisi pun, begitu ada Jokowi muncul di televisi, maka begitu ditanya siapa orang itu, anak itu akan langsung menjawab: Jokowi! Tentu hal itu semakin menguatkan pengenalan sosok dirinya, ketokohannya dan kepemimpinannya di hadapan publik secara nasional.
Perlahan tapi pasti, kalangan masyarakat yang jatuh hati pada gaya dan model kepemimpinannya, baik dari kalangan bawah maupun menengah-atas, akhirnya mencoba memaknai sosok Jokowi. Jokowi pun dipandang oleh masyarakat yang jatuh hati pada figurnya sekurang-kurangnya sebagai berikut:
Pertama, Jokowi bukan sekedar pemimpin yang sederhana dan merakyat dari segi fisik dan penampilannya. Tapi juga dinilai benar-benar merakyat, karena mau terjun langsung ke masyarakat. Dia berkebalikan dengan tipe pemimpin flamboyan dan parlente secara penampilan yang cukup banyak mengisi ruang-ruang politik nasional, yang melulu bicara gagasan-gagasan besar yang melangit, dengan sisipan bahasa asing yang sulit dipahami rakyat, namun kerap kedodoran dalam detail maupun pelaksanaan gagasan-gagasan besarnya. Dalam kesederhanaan penampilannya, justru Jokowi dipandang cukup mampu menjawab beragam masalah ril masyarakat bawah lewat program-program yang membumi.
Kedua, Jokowi dianggap pemimpin yang cukup bersih, berintegritas, dan bukan bagian dari masa lalu yang kelam. Sehingga dengan begitu Jokowi pun layak untuk diidentifikasi sebagai sosok yang pantas memimpin ke arah perubahan yang lebih signifikans.
Ketiga, Jokowi dinilai benar-benar berasal dari masyarakat bawah, dari rakyat jelata sebagaimana kebanyakan rakyat Indonesia lainnya. Namun dengan sikap mental positifnya, wong ndeso satu ini berhasil meniti rangkaian anak tangga sosial dan politik, hingga akhirnya sampai pada sosoknya yang sekarang kita kenal. Sehingga tak sedikit masyarakat dan relawan pendukungnya mengidentifikasi Jokowi sebagai bagian dan cerminan aspirasi mereka. Dan capaian yang diraih Jokowi pun menjadi insprasi, bahkan role model kontemporer bagi mereka. Sepertinya hal sebaliknya pun berlangsung. Lewat gayanya, Jokowi pun mengidentifikasi diri sebagai bagian dari masyarakat bawah.
Jokowi adalah kita, mungkin itu istilah tepat untuk menggambarkan hubungan saling mengidentifikasi diri antara Jokowi dengan masyarakat atau para pendukungnya. Peleburan citra diri antara yang mengidentifikasi dengan yang diidentifikasi, antara pemimpin dan rakyat yang jatuh hati pada sang pemimpin, sebagaimana tampak pada fenomena Jokowi, merupakan salah satu pelajaran berharga bagi siapapun yang ingin menaiki tangga sosial-politik menjadi pemimpin negeri ini di masa depan.
Keempat, Jokowi dinilai telah cukup nyata bekerja keras dan mengabdi untuk kepentingan rakyat. Hal ini bisa ditelusuri lewat beragam gagasan dan kebijakan Jokowi saat menjadi pejabat publik, baik saat memimpin Kota Surakarta maupun menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ketika seorang pejabat publik dinilai telah bekerja baik dan benar-benar mengabdi untuk kepentingan rakyat, tentu hal itu akan mampu menerbitkan harapan dan optimisme di hati rakyat. Harapan dan optimisme atas kehidupan yang akan jauh lebih baik.
Keempat hal di atas itu kemudian turut mengkonfirmasi kehadiran Jokowi sebagai sosok calon pemimpin nasional paling potensial bagi rakyat Indonesia saat ini. Kuasa Illahi pun tentu terlibat, bahkan tentu sudah sejak awal. Dan seluruh proses yang ada terkait perjalanan politik sosok Jokowi itu pun terprakondisikan, berpilin-kelindan dan ditopang oleh momentum dan semangat jaman yang tampaknya pun sedang berpihak pada model kepemimpinan ala Jokowi. Maka kemudian, tergelarlah karpet merah bagi Jokowi untuk menahkodai bangsa ini. Ya, Jokowi, Sang Presiden Indonesia yang ketujuh!
Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang bisa kita harapkan saat ini dari sosok Jokowi yang memperoleh mandat memimpin bangsa ini? Kemudian bagaimana sebaiknya Presiden Jokowi mengimplementasikan visi-misi dan agenda-agenda prioritasnya untuk dipersembahkan demi kemajuan bangsa? Hal-hal itulah yang kita coba lihat dan bahas di sini.
Membangun harapan dan optimisme
Sejauh yang bisa ditelusuri, ketika memegang jabatan-jabatan publik, Jokowi cukup piawai membangun harapan dan optimisme masyarakat. Selain itu, tentu saja Jokowi pun figur yang punya harapan-harapan tertentu dan rasa optimisme untuk menggapainya. Jika tidak, tak mungkin ia bisa menjadi walikotaSurakarta, gubernur DKI Jakarta, dan presiden Republik Indonesia.
Ketika menang dalam pemilukada Kota Surakarta tahun 2005, didukung PDIP dan PKB, dengan perolehan 36,62%, Jokowi langsung tancap gas membuat terobosan-terobosan. Kota Solo yang sebelumnya agak buruk penataannya, kemudiaan ditatanya dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Geliat kota Solo pun didorongnya menjadi jauh lebih dinamis.
Rebranding kota sukses dilakukannya. Disulapnya Kota Solo menjadi kota yang marak dengan beragam kegiatan festival, bukan cuma yang bertaraf lokal dan nasional, melainkan internasional. Seperti menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) 2007 dan 2008, Euro-Asia World Heritage Cities Conference and Exhibition 2008, Solo International Ethnic Music Festival (SIEM) 2007 dan 2008, International Performing Arts Festival pada tahun 2009, dan juga menjadi tuan rumah konferensi Organisasi Kota-kota Warisan Dunia 2008.
Di bawah kepemimpinannya, Kota Solo terus terangkat citranya. Harapan dan aspirasi masyarakat diserapnya untuk kemudian dirumuskan dalam kebijakan dan dilaksanakan. Sedikit demi sedikit perubahan berhasil dihelanya. Kemudian optimisme pun muncul dan menguat dari masyarakat Surakarta untuk turut berpartisipasi membangun kotanya.
Ketika Jokowi maju lagi pada pemilukada Kota Surakarta tahun 2010, ternyata ia terpilih kembali untuk periode kedua dengan perolehan suara fantastis, yakni sebesar 90,09% suara. Perolehan suara berlipat-lipat dibanding perolehan periode sebelumnya. Hal itu setidaknya menggambarkan dua hal yang saling terkait.
Pertama, harapan sebagaian besar rakyat Surakarta saat itu atas arah perubahan yang lebih baik dari kotanya dipercayakan di bawah kepemimpinan Jokowi. Dan kedua, sebagian besar rakyat Surakarta optimis, bahwa dengan memberikan mandat kepada Jokowi untuk kembali memimpin kotanya, maka Surakarta bisa lebih sejahtera.
Program-program pro-rakyat terus dijalankan Jokowi di periode keduanya sebagai Walikota Surakarta. Demikian juga ketika berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012. Jokowi langsung tancap gas. Program-program membumi diluncurkannya. Seperti program Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat. Ia pun melakukan pembenahan sistim dan moda transportasi, penataan wilayah pemukiman padat penduduk agar lebih manusiawi, penataan pedagang kaki lima, normalisasi waduk dan kali, mereformasi birokrasi diantaranya dengan memperkenalkan lelang jabatan lurah dan camat, dan sebagainya. Meski para pengkritiknya tentu tak melihat program-program itu berhasil dijalankan dengan baik oleh Jokowi, Cuma sekedar pencitraan.
Dan sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta, popularitas Jokowi terus melangit. Rekam jejaknya tercatat lumayan baik, ditopang pendekatannya yang menyentuh, menyejukkan, dan mermbumi. Dan Jokowi pun menjadi media darling seiring harapan dan aspirasi masyarakat yang dicoba diterjemahkannya dalam bentuk kebijakan dan langkah-langkah nyata. Dan itu tentu seiring optimisme Jokowi untuk terus mendorong agenda perubahan sebagaimana yang ada dipikirannya dengan segenap kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya.
Jokowi melewati tahun-tahun pertamanya sebagai Gubernur DKI Jakarta bertepatan dengan jelang datangnya tahun politik jelang Pemilu 2014. Berkat popularitasnya yang terus meroket, nama Jokowi pun masuk dalam bursa calon presiden yang terjaring dalam survei. Dan ternyata dalam banyak survei yang secara kontinyu dirilis, Jokowi selalu menempati tempat yang diunggulkan dibanding tokoh-tokoh lainnya, tak terkecuali Megawati Soekarnoputri.
Lalu akhirnya Jokowi pun memperoleh mandat dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk maju menjadi calon presiden pada 14 Maret 2014, atau tiga minggu sebelum digelarnya pemilu legislatif 9 April 2014. Padahal sebelumnya, Megawati sempat mengatakan akan mengumumkan calon presiden dari PDIP setelah digelarnya pemilu legislatif.
Tentu gambaran tentang survei-survei bursa capres itu, yang akhirnya berujung pada pencalon Jokowi sebagai presiden, dapat dibaca betapa besarnya harapan dan optimisme rakyat, termasuk Megawati Soekarnoputri selaku pimpinan partai yang mengusung Jokowi, untuk meletakkan agenda perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik di bawah kepemimpinan Jokowi. Terlepas fakta bahwa sesungguhnya masih ada tiga tahun yang tersisa dari mandat masa jabatan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta.
Maka ketika pasangan capres-cawapres Jokowi-Jusuf Kalla memenangkan pilpres 2014, lewat sebuah kontestasi yang ketat menghadapi pesaingnya, Prabowo-Hatta, maka kemenangan itu sesungguhnya kembali meneguhkan harapan dan optimisme rakyat yang menghendaki arah perubahan Indonesia ke depan lewat kepemimpinan Presiden Jokowi.
Dan ketika rakyat sudah menentukan pilihan terkait pemimpin yang lebih dikehendaki untuk menjalankan agenda-agenda perubahan, maka upaya membangun harapan dan optimisme atas masa depan Indonesia yang lebih baik harus terus digaungkan oleh presiden terpilih Jokowi. Ini penting agar seluruh elemen rakyat menjadi tenaga penggerak mendorong ke arah percepatan perubahan yang dikehendaki.
Menggerakkan rakyat ke arah cita-cita lima tahun ke depan
Sebenarnya apa yang tertuang dalam dokumen visi-misi Jokowi saat menjadi presiden perlu disambut dengan positif. Sebab dalam dokumen visi-misi berjudul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkribadian”, telah diuraikan tentang permasalahan pokok bangsa Indonesia saat ini. Yakni ancaman terhadap wibawa negara, kelemahan sendi perekonomian bangsa, serta intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Sehingga diperlukan peneguhan melalui jalan ideologi, yakni Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti sebagaimana digagas Bung Karno dahulu, sebagai penuntun, penggerak, pemersatu dan bintang pengarah kita melewati beragam masalah yang ada.
Lewat jalan ideologi berupa Pancasila dan Trisakti itu pulalah kemudian dituangkan sebuah visi yang hendak diwujudkan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam lima tahun ke depan, yakni: Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.
Kemudian dari visi itu diturunkan dalam bentuk misi pemerintahan Jokowi-Juyus Kalla, yakni:
1) Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan;
2) Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan negara hukum;
3) Mewujudkan politik luar negeri bebas aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim;
4) Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera;
5) Mewujudkan bangsa yang berdaya saing;
6) Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional;
7) Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.
Dalam konteks mewujudkan Indonesia berdaulat secara politik, pemerintahan Jokowi-Kalla menawarkan 12 agenda strategis. Ada 16 agenda strategis untuk mewujudkan Indonesia yang berdikari dalam bidang ekonomi. Dan 3 agenda strategis untuk mewujudkan Indonesia yang berkepribadian dalam bidang budaya. Dari 31 agenda strategis itu kemudian diperas menjadi 9 agenda prioritas pemerintahan Jokowi-Jusuf kalla ke depan, atau yang disebut Nawa Cita, yakni:
Kami akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.Kami akan menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistim dan penegakkan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia. Kami akan meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.Kami akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa Kami akan memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Jika memang jalan Trisakti itu yang ingin ditempuh, tentu kita ingin jalan Trisakti itu benar-benar jalan Trisakti yang sejati, yang ideologis, yang anti analis-anasir imperialisme yang berwatak eksploitatif terhadap segenap kekayaan bangsa, baik yang bersifat material maupun spiritual. Bukan jalan TRisakti yang abal-abal, yang secara dokumentatif bernama Trisakti praktek merupakan kemasan dari agenda-agenda imperialism dan neoliberalisme!
Jika memang jalan Trisakti yang sejati yang ingin ditempuh, ukan jalan Trisakti yang abal-abal, saya pikir itu didukung. Presiden Jokowi dan Yusuf Kalla pun keduanya dituntut untuk konsisten menjalankan dan menegakkan apa yang telah dipancang menjadi visi, misi, agenda prioritas dan program-program yang menunjang ke arah pencapaian secara penuh kedaulalatan di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
Lagi pula memang sudah waktunya kita kembali menempuh jalan ideologis, dan menjalankan agenda-agenda yang mampu membawa kita ke arah cita-cita proklamasi. Sebab telah lama sekali, terutama sejak era erde baru, bangsa ini, perlahan tapi pasti, terus tercerabut dari akar ideologinya sendiri, sehingga terus berada pada rel yang salah dari cita-cita proklamasi.
Meski perlu digarisbawahi, jika memang konsepsi Trisakti ini yang hendak ditegakkan, tentu kita membutuhkan waktu yang jauh lebih lama. Mungkin 20 atau 25 tahun ke depan, atau boleh jadi kurang dari itu, baru perwujudan yang menyeluruh dari konsepsi Trisakti itu bisa diwujudkan secara lebih sempurna. Dan kita pun berpeluang kembali menjadi bangsa besar yang diperhitungkan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam masa lima tahun ke depan dari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, bahkan mungkin sepuluh tahun ke depan, saya pikir kita terlebih dahulu akan lebih banyak membangun landasan-landasan yang bersifat pokok yang diperlukan di pelbagai bidang guna mewujudkan secara sempurna konsepsi Trisakti itu. Bukankah Cina pun ketika meraih posisi kemajuan yang spektakuler seperti sekarang ini, sebelumnya puluhan tahun mereka habiskan untuk melakukan konsolidasi internal dalam tubuh bangsanya sendiri?
Untuk itu partisipasi dan daya juang segenap komponen rakyat harus disiapkan, jika memang yang hendak ditempuh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla adalah jalan Trisakti sebagai basis pembangunan karakter kebangsaan dan landasan kebijakan nasional masa depan menuju cita-cita proklamasi. Tak bisa tidak, rakyat harus diberdayakan. Harapan-harapan rakyat dan kemampuan tersembunyi harus dibangkitkan dan diangkat, untuk kemudian digerakkkan secara harmonik ke arah pencapaian cita-cita proklamasi lewat jalan Trisakti.
Justru disitulah peran penting kepemimpinan Jokowi harus dimainkan dengan baik selaku kepala negara. Ia harus mampu menggerakkan segenap potensi bangsa yang tersedia, membangkitkan harapan-harapan yang ada, dan memompa optimisme segenap komponen bangsa menuju masa depan yang gemilang.
Dan untuk membangun harapan dan optimisme rakyat, presiden Jokowi dapat mengikuti resep yang pernah disampaikan Bung Karno saat kursus Pancasila di istana negara tahun 1958 tentang cara menggerakkan rakyat. Jika resep tersebut mampu dijalankan Jokowi dengan baik, maka akan efektif untuk menggerakkan kehendak rakyat ke arah cita-cita proklamasi lewat jalan Trisakti.
Pertama, Jokowi harus mampu menggambarkan atau melukiskan secara lebih jelas lagi cita-cita yang hendak diraih bangsa ini lima tahun ke depan kepada massa rakyat. Dari golongan masyarakat kelas apapun, gambaran atau lukisan atas cita-cita itu harus mampu dipahami secara benar lengkap dengan argument-agumennya. Segenap saluran informasi dan media yang memungkinkan untuk memberikan gambaran tentang cita-cita yang hendak diraih, harus digunakan sebaik-baiknya dan kontinyu. Hal ini agar tumbuhkan kesamaan pandang, gerak dan langkah antara pemimpin dan rakyatnya.
Kedua, Jokowi harus membangkitkan kehendak dan perasaan mampu kepada rakyat untuk menggapai cita-cita yang berhasil dilukiskannya itu. Sebab kemampuan melukiskan cita-cita saja belumlah cukup menggerakkan rakyat meraih cita-citanya. Sehingga harus pula membangkitkan kehendak dan perasaan mampu rakyat.
Dan ketiga, Jokowi harus menyatukan rakyat yang telah paham atas lukisan cita-cita lima tahun ke depan maupun beberapa puluh tahun ke depan, dan yang sudah terbangkitkan perasaan mampunya meraih cita-cita itu, lewat dorongan untuk mengorganisir diri dalam wadah organisasi. Baik itu dengan merevitalisasi organisasi yang sudah ada maupun membentuk yang baru yang diserahkan pada rakyat. Lewat masing-masing organisasi itulah segala lukisan cita-cita yang sudah jelas itu kemudian diperjuangkan bersama-sama.
Memang semua itu mengandaikan, pertama, seberapa kuat penghayatan ideologis Jokowi atas jalan Trisakti yang hendak ditempuhnya nanti. Jika penghayatan dan konsistensinya kuat, maka itu menjadi modal awal yang baik bagi pelaksanaannya nanti. Jika penghayatannya lemah, atau mungkin justru ia tak memiliki penghayatan yang baik atas jalan Trisakti yang ideologis itu, maka dokumen visi-misi dari pemerintahannya yang amat kental dengan muatan ideologi itu sekedar cuma macan kertas yang ompong. Atau setidaknya antara Jokowi dan dokumen visi-misinya bukan merupakan sebuah kesatuan antara sang tokoh dengan pikirannya, tapi merupakan dua hal yang tidak saling terkait dan berjalan sendiri-sendiri.
Kedua, tergantung pula pada dinamika politik yang terbentuk sebagai konsekwensi konfigurasi politik yang ada di parlemen. Jika Jokowi dan partai koalisi pendukungnya mampu menghimpun kekuatan yang lebih besar lagi di parlemen untuk mendukung agenda-agenda dalam visi-misinya, serta mampu pula menggalang kekuatan rakyat untuk mendukung apa yang menjadi agenda dan program prioritasnya, memang itulah yang benar dan dibutuhkan.
Tapi, terlepas kelemahan yang mungkin ada pada diri Jokowi dan dianalisis oleh sejumlah komentator, sejauh ini saya masih cukup yakin dan cukup optimis bahwa Jokowi cukup dapat diandalkan memimpin bangsa ini ke arah rel yang benar, setidaknya sesuai dengan apa yang tertulis dalam dokumen visi-misinya. Sebuah keyakinan dan optimism yang bercampur dengan harapan, tentunya!
Kini tinggal Jokowi sendiri yang harus membuktikannya dengan kerja-kerja progresif dan nyata, bahwa dirinya memang membawa harapan-harapan besar atas perubahan. Dan dengan penuh optimisme pula segera merealisasikan harapan-harapan perubahan itu lewat peletakkan landasan yang kokoh di segala bidang dalam skema Trisakti sebagai jalan ideologis. Ketika itu terbukti nyata, setidaknya Jokowi masih tetap berada pada jalan ideologis yang benar, jalan Trisakti yang otentik, maka akan tiba waktunya nanti yang akan mendaulat, bahwa Jokowi antitesis pesimisme!
Sebaliknya, jika dalam perjalanan pemerintahannya ternyata Jokowi gagal membuktikan kerja-kerja progresif dan nyata, yang mampu meletakkan landasan bagi pondasi yang kokoh di pelbagai bidang menuju harapan-harapan besar menuju cita-cita proklamasi lewat jalan ideologis Trisakti yang sejati, maka akan tiba pula waktunya yang akan mendaulat, bahwa Jokowi antitesis optimisme!
Selamat bertugas Presiden Jokowi. Selamat membuktikan segenap janji-janji Anda. Dan selamat menempuh jalan Trisakti, ya jalan Trisakti yang sejati, bukan jalan Trisakti yang cuma jargon belaka, wahai Presiden RI Ketujuh.
Oleh: Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN) dan Pusat Kajian Peradaban Pancasila