Jakarta, Aktual.co —Pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) di Komisi VIII DPR RI mengundang kontroversi dari berbagai kalangan. Disebutkannya obat, produk biologi dan produk rekayasa genetik sebagai kategori produk dalam RUU JPH menimbulkan banyak pertentangan.
Obat atau produk farmasi mempunyai sifat dan karakter kegunaan yang berbeda dengan produk makanan, minuman dan kosmetik. Obat pada umumnya tidak dikonsumsi atas keinginan konsumen, melainkan melalui resep dari dokter yang mempunyai kompetensi dan keahlian untuk penyembuhan pasien.
Audit dalam memverifikasi bahan-bahan produk farmasi juga sangat rumit, butuh waktu yang panjang dan biaya yang tidak murah, mengingat sebagian bahan baku produk farmasi masih diimpor. Satu jenis bahan baku farmasi berasal dari percampuran berbagai bahan, setiap bahan tersebut harus ditelusuri auditor hingga titik nol. Bisa dibayangkan berapa lama tim auditor untuk memverifikasinya dan seberapa besar biaya nya.
Peralatan produksi juga harus dipisahkan dengan peralatan yang digunakan untuk memproduksi obat yang mengandung zat-zat yang di haramkan, berarti membutuhkan investasi ulang yang tidak sedikit. Besarnya investasi akan mempengaruhi harga obat, sehingga ujungnya konsumen yang akan dirugikan.
Ada sekitar 40 juta pengusaha di Indonesia yang bergerak dibidang obat dan farmasi. Jika pemerintah mensubsidi Rp 6 juta untuk setiap sertifikat halal, berarti pemerintah membutuhkan sedikitnya Rp240 triliun per 3 tahun, mengingat masa sertifikat halal berlaku selama 3 tahun.
Masuk
Selamat Datang! Masuk ke akun Anda
Lupa kata sandi Anda? mendapatkan bantuan
Disclaimer
Pemulihan password
Memulihkan kata sandi anda
Sebuah kata sandi akan dikirimkan ke email Anda.