Selain nama Sri Mulyani Indrawati (SMI), ada nama lain yang sedang santer untuk menjadi menteri koordinator perekonomian di kabinet Jokowi, yaitu Kuntoro Mangkusubroto (KM). Nama KM sangat tidak asing di dunia politik Indonesia karena selalu berada di lingkaran kekuasaan.
Di masa Soeharto, KM tercatat sebagai Dirut PTBA dan Timah, Dirjen Pertambangan Umum, dan Menteri Pertambangan. Di masa Habibie, ia menjabat Menteri Pertambangan. Di masa Gus Dur Kuntoro menjadi Dirut PLN. Saat SBY memimpin, ia menjabat an Kepala BRR dan Kepala UKP4.
Lingkar Studi Perjuangan (LSP)memiliki beberapa catatan tersendiri terhadap sosok KM. Bagi LSP, KM jelas adalah tipe akademisi-birokrat yang disukai oleh AS, karena sangat manut kepada negara adikuasa tersebut. Buktinya adalah bagaimana pada 29 Agustus 2008 Kedubes AS mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keterlibatan USAID mereview sebuah draft RUU Migas di Indonesia pada tahun 1999, masa KM menjadi menteri pertambangan.
Disebutkan di pernyataan Kedutaan AS tersebut, pemerintah Indonesia bersama USAID telah menandatangani kerjasama Strategic Objective Grant Agreement (SOGA) yang berlaku untuk lima tahun sekaligus mengucurkan bantuan US$20 juta. Draft RUU Migas ini kemudian kita kenal sebagai UU Migas 2001 yang kelak banyak pasalnya dijudicial review berkali-kali karena melanggar konstitusi.
Saat KM menjadi menteri, bangsa Indonesia pernah menjual kedaulatan politiknya untuk membuat perundangan di sektor migas hanya demi duit bantuan US$20 juta. Jadi, jangan pernah Jokowi memilih seorang yang memiliki rekam jejak yang mencederai Trisakti semacam KM ini.
Berdasarkan informasi dari mantan pejabat di era Gus Dur, KM juga pernah dipecat sebagai PLN pada tahun 2000 karena ia tidak mampu melakukan negosiasi harga listrik swasta dengan pihak asing. Saat itu renegosiasi menghendaki turunnya tarif dari yang sangat tinggi berkisar 7-9 cent/KwH (karena terdapat unsur KKN dengan keluarga Soeharto dengan pihak asing), ke tarif listrik swasta yang normal sekitar 4 cent/KwH. Namun ternyata KM tidak mau menekan asing dalam renegosiasi ini karena terjadi “conflict of interest”- perusahaan konconya, Suharya, jadi pemasok batu bara terbesar di Paiton Energy.
LSP juga mencatat bagaimana KM pernah terkena masalah hukum berupa penarikan dana APBN untuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Kepulauan Nias Rp 2,21 triliun. Seperti diberitakan di salah satu media nasional bulan November tahun 2009, seorang anggota Komisi III DPR menyatakan bahwa penarikan yang dilakukan KM selaku kepala BRR tersebut adalah cacat hukum dan dikelola melalui mekanisme di luar anggaran (off-budget).
Belum lama ini (2/10) KM telah menyiapkan konsep simulasi pengelolaan energi Indonesia yang disebut “Bandung Scenarios 2030”, yang pernah diterapkan oleh korporasi migas asing Shell pada 1972. Perlu diketahui juga, KM ternyata memiliki hubungan dekat dengan McKinsey, lembaga konsultan terbesar dan tertua di AS, yang kabarnya membantu KM sejak menjadi kepala BRR hingga kepala UKP4 di masa pemerintahan SBY.
Oleh Gede Sandra, Peneliti LSP