Jakarta, Aktual.co —Money politic bukan sesuatu yang baru di alam demokrasi Indonesia, para calon legeslatif dan partai politik juga sudah berhitung dan menyiapkan anggaran guna mengambil simpati para calon pemilihnya. Faktor terjadinya praktek money politic di karenakan partai politik atau calon legeslatif tidak mampu mendekatkan diri kepada para calon pemilih sehingga menyebabkan politik transaksional.   
Dengan berlatar belakang, seberapa besar politik uang mempengaruhi politik elektoral Indonesia. Indikator Politik Indonesia mengadakan survey nasional di 39 Dapil, tiap Dapil diambil 400 sampel. Responden terpilih, diwawancarai dengan tatap muka. Responden merupakan WNI yang mempunyai hak pilih, berusia 17 tahun atau sudah menikah pada saat dilakukan wawancara pada bulan September – Oktober 2013. 
Hasil survey menunjukan 41,5% responden menganggap politik uang merupakan hal yang wajar, fenomena tersebut merupakan bukti gagalnya pendidikan politik di Indonesia. 55,7% responden akan menerima pemberian, tapi memilih calon sesuai dengan hati nuraninya. “Ibarat penipu kecil yang ingin menipu perampok besar”. Jelas Burhanudin selaku direktur Indikator Politik Indonesia.
Indikator Politik Indonesia menyimpulkan hasil surveynya, semakin rendah pendidikan dan penghasilanya semakin tinggi toleransinya terhadap politik uang. Semakin kecil jumlah konstituennya maka semakin besar potensi politik uang. Bisa disimpulkan Pilkades berpotensi besar politik uang dari pada Pilpres, Pemilihan DPRD lebih berpotensi politik uang dibanding pemilihan DPR-RI.