Dalam aksinya Front Perjuangan Rakyat (FPR) untuk memperingati 19 tahun Reformasi dan menolak keputusan pemerintah secara sepihak akan membubarkan organisasi dengan tudahan radikalisme dan membahayakan NKRI, cabut seluruh Perda yang membatasi kebebasan berpendapat di muka umum. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Pada akhirnya aksi-aksi massa gerakan mahasiswa 1998 harus berkompromi dengan kekuatan sisa-sisa orde baru, pemerintahan B.J.Habibie. Secara umum, B.J Habibie dapat diterima oleh hampir semua kalangan untuk menghindari perpecahan diantara anak bangsa.

Sebagai sebuah pemerintahan transisi, Habibe memberikan konsesi dengan melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan memberikan kebebasan dalam berekspresi. Beberapa langkah perubahan diambil oleh B.J. Habibie, seperti liberalisasi partai politik, pencabutan UU Subversi, pembebasan Tapol/Napol, Referendum Timur Leste dan Pemilu 1999.

Dibidang ekonomi, B.J. Habibe juga berhasil menurunkan kembali nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dari kisaran 10-16 ribu menjadi dibawah 10 ribu. Selain itu, B.J. Habibie mengesahkan undang-undang larangan tentang monopoli dan perlindungan konsumen. Akan tetapi, dalam hal sikap terhadap IMF, B.J. Habibie justru mengikuti arahan IMF untuk melakukan reformasi ekonominya. Dari sinilah pintu neoliberalisme dibuka seluas-luasnya.

Kemudian hasil pemilu 1999, menetapkan Abdurahman Wahid (Gus Dur), menjadi Presiden. Di pemerintahan Gus Dur inilah, cita-cita reformasi menuju rel yang benar. Dimulai dengan pengadilan terhadap Soeharto sampai pemberhentian Wiranto sebagai Menkopolhukam yang dianggap oleh Gus Dur sebagai orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM pada massa pemerintahan sebelumnya.

Gus Dur juga membubarkan Kementerian Penerangan yang selama ini menjadi corong utama orde baru. Juga Dinas Sosial yang dianggap gudangnya Korupsi. Gus Dur, menunjukan sikapnya sebagai salah satu tokoh yang menunjung tinggi toleransi dengan menjadikan hari IMLEK sebagai hari libur nasional.

Di bidang ekonomi, Gus Dur mengangkat beberapa ekonom yang memiliki cara pandang anti neoliberalisme duduk dalam jajaran kabinetnya. Diantaranya, Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli. Beberapa gebrakanpun dilakukan, untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat saat itu.

Diantaranya menolak impor pangan, dengan tujuan agar harga jual pangan menguntungkan petani. Menaikan gaji PNS, dengan tujuan agar daya beli masyarakat menengah kebawah tidak anjok. Dan yang terpenting adalah menurunkan hutang luar negeri. Beberapa gebrakan yang dilakukan Gus Dur ini, baik dibidang politik maupun ekonomi, rupanya membuat gerah sisa-sisa orde baru dan para pendukungnya. Dan Gus Durpun dijatuhkan tanpa adanya bukti korupsi yang dituduhkan kepadanya.

Selanjutnya, Megawati menjadi Presiden menggantikan Gus Dur. Pukulan balik terhadap gerakan reformasipun di mulai. Kran liberalisasi dibuka selebar-lebarnya melalui amademen UUD 1945. Menteri-menteri pro neoliberalpun mulai duduk dalam kabinet, dibawah kepemimpinan Menko-Perekonomian Dorodjatun Kuntoro Tjakti, agenda IMF mulai dijalankan.

Privatisasi terhadap BUMN dijalankan, dan yang paling lekang dalam ingatan kita adalah penjualan Indosat. Satu persatu subsidi rakyat dikurangi. Kekuatan oligarki ekonomi mulai menggeliat, tak hanya tersentral kepada keluarga cendana dan kroninya saja seperti jaman orde baru, tapi mulai terdistribusi ke segelintir pengusaha nasional.

Kebijakan refresifpun mulai diberlakukan demi menjaga stabilitas dengan menerapkan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua. Dan terbunuhnya Munir pada penghujung kekuasaannya menjadi puncak dari tindakan refresif rejim terhadap para aktivis yang mengkritik pemerintahannya.

Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengalahkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi melalui dua putaran. 10 tahun SBY berkuasa, Oligarki Ekonomi semakin mencengkram dibumi pertiwi ini.

Paham ekonomi neoliberal semakin menunjukan coraknya di masa pemerintahan SBY ini. “Mafia Barkley” adalah julukan yang disematkan kepada para ekonom pendukung sistem ini yang menduduki jabatan di kabinet yang dipimpin oleh SBY ini, diantaranya Sri Mulyani.

Pada peridoe kedua kepemimpiannya, SBY meluncurkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) yang merupakan karpet merah bagi neoliberalisme. Ketimpangan antara kaya dan miskinpun semakin berjarak. Kendati demikian, ruang kritik terhadap pemerintahan SBY justru terbuka lebar. Mungkim di era SBY ini lah aksi-aksi massa paling sering dilakukan sepanjang republik ini berdiri. Dari mulai di daerah, sampai di pusat. Dari mulai dengan beberapa orang sampai ribuan orang.

Tahap berikutnya, rasa dahaga rakyat akan cita-cita reformasi 1998 dan keadilan sosial, terakumulasi dengan menangnya Jokowi pada Pemilu 2014. Kampanye programtik yang disampaikan Jokowi, seakan-akan menjadi jalan keluar bangsa ini dari cengkraman neoliberalisme. Alih-alih melakukan banting stir ekonomi, pemerintah Jokowi justru melanggengkan oligariki ekonomi di republik ini. Itu bisa dilihat dari komposisi menteri yang mengisi kabinet Jok

Tercatat, pada Maret 2017, 48 group konglomerasi keuangan menguasai 66,9% total asset sistem jasa keuangan. Laporan Credit Suise tahun 2017 menyatakan bahwa 1% penduduk terkaya Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional, dan 10% penduduk terkaya menguasai 74,8% kekayaan nasional.

Percepatan ketimpanganpun semakin terlihat. Hutang negarapun tumbuh subur, dengan dalih untuk pembiayaan infrastruktur, yang notabene masih melanjutkan program MP3EI-nya SBY. Ruang demokrasipun semakin menyempit, dimana kritik terhadap penguasa dijawab dengan kriminalisasi. Bahkan pemerintah ingin kembali menghidupkan pasal subversif dalam RUU KUHP yang telah dicabut oleh GUS DUR. Jangankan untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu, yang terjadi justru orang-orang yang di duga terlibat dalam pelanggaran HAM duduk manis disekitar Jokowi.

Oleh: Direktur Eksekutif IDM, Bin Firman Tresnadi (Jakarta, Minggu 27 Mei 2018)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta