Jakarta, aktual.com – ç
Perang Jawa (1825–1830) adalah titik balik yang mengguncang pondasi kekuasaan kolonial. Dipimpin oleh Pangeran Diponegoro—putra bangsawan yang menolak tunduk—perang ini menjadi simbol perlawanan terakhir rakyat Jawa sebelum tanah ini benar-benar jatuh dalam cengkeraman imperium Belanda. Gerilya, jebakan, hingga pengkhianatan menjadi warna dari kisah kepahlawanan itu.
Raden Mas Antawirya—kelak dikenal sebagai Pangeran Diponegoro—bukan anak sembarangan. Sejak kecil, ia telah menarik perhatian Kraton. Menurut sejarawan Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785–1855), Sultan Mangkubumi bahkan pernah meramalkan bahwa bayi itu akan membawa kerusakan jauh lebih besar bagi Belanda dibanding Perang Giyanti yang memecah Mataram.
Ramalan itu bukan dongeng. Pada 1825, ketika patok-patok Belanda ditanam di tanah leluhurnya, Diponegoro memilih jalan jihad. Dari Tegalrejo, ia menyerukan perang. Rakyat menjawab. Dalam hitungan pekan, api perlawanan menyebar ke seluruh Jawa. Belanda kelimpungan. Strategi gerilya Diponegoro yang licin dan mematikan membuat kas militer kolonial jebol, dan moral pasukan mereka terpuruk.
Diponegoro bukan sekadar pangeran, ia adalah simbol. Sosok Ratu Adil yang selama ini diramalkan dalam naskah-naskah Jawa. Ia mempersatukan yang tercerai: bangsawan buangan, ulama, petani, hingga para bandit dan buruh kota. Semua bergerak dalam satu panji: menegakkan kembali tatanan Jawa Islam yang telah diinjak-injak oleh Belanda dan para ningrat yang bersekutu dengannya.
Yogyakarta, tanah kelahirannya, justru menjadi ladang luka. Di sana, kekuasaan Kraton direduksi menjadi boneka Batavia. Wabah, kemiskinan, dan pajak mencekik rakyat. Dalam penderitaan itu, Diponegoro menjadi harapan, menjadi poros. Perang bukan hanya melawan Belanda, tetapi melawan oligarki Jawa yang tunduk pada uang dan kuasa asing.
Tapi seperti banyak perang suci dalam sejarah dunia, kekuatan rakyat kalah oleh kelicikan. Belanda, yang tak mampu menaklukkan Diponegoro di medan tempur, memilih jalan pengkhianatan. Mereka pura-pura ingin berdamai, memanggil Diponegoro ke meja perundingan, lalu menjebaknya.
Pada 1830, sang pangeran ditangkap di Magelang. Ia dibuang ke Makassar, dan wafat dalam pengasingan 25 tahun kemudian. Tapi semangatnya tak pernah terkubur. Nama Diponegoro terus hidup, dijadikan nama jalan, patung, bahkan menjadi roh yang merasuk ke banyak perjuangan bangsa setelahnya.
Hari ini, 200 tahun telah berlalu. Perang Jawa bukan sekadar cerita masa lalu, tapi cermin yang menatap balik kepada kita: Apakah kita masih punya keberanian seperti Diponegoro? Masihkah kita membela rakyat yang tertindas? Ataukah kita kini lebih mirip para ningrat di masa lalu yang sibuk menyelamatkan tahta ketimbang membela tanah?
Karena pada akhirnya, sejarah bukan soal mengenang, tapi soal memilih: menjadi pewaris semangat atau justru pengkhianat amanat.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















