Jakarta, Aktual.com – Bupati Kepulauan Seribu Budi Utomo membantah bersikap ‘berat sebelah’ dalam persoalan sengketa tanah antara warga Pulau Pari dengan pengembang PT Bumi Pari Asih. Dimana warga menganggap bupati tidak memediasi dengan baik antara warga dengan pengembang.
Saat dihubungi Aktual.com, Bupati mengaku sudah beberapa kali menggelar pertemuan antara warga dengan pihak PT Bumi Pari Asih. Seingat dia, di tahun 2015, dua hingga tiga pertemuan digelar. Rapat terakhir tanggal 17 Desember. Tapi pihak LSM yang mewakili warga saat itu lakukan ‘walkout’. Alasannya karena pimpinan PT BPA tidak datang. (Baca:Â Sengketa Pulau Pari, Bupati Kepulauan Seribu Dianggap Timpang)
“Padahal di pertemuan itu perwakilan dari perusahaan lengkap datang. Mulai dari pihak manajemen, bagian hukum, SDM mereka juga hadir,” ujar Budi, Jumat (25/12).
Ditegaskan dia, dalam proses itu pihaknya sebagai pemerintah tidak akan berat sebelah. Baik ke warga ataupun pengembang. Kepada pengembang, ujar Budi, diminta untuk tidak sewenang-wenang ke warga. “Kalaupun ini lahan benar milik mereka (PT BPA) tapi ada warga yang tinggal di situ dan sudah merawat lahan itu. Jadi jangan sewenang-wenang,” ucap dia.
Sedangkan kepada warga, Budi mengaku sudah mengingatkan untuk jangan menduduki lahan yang bukan miliknya.
Ketimbang sengketa berkepanjangan, Budi menyarankan kedua belah pihak untuk saling bersinergi saja membangun pariwisata di Kepulauan Seribu, terutama di Pulau Pari.
“Jangan sampai permasalahan kaya begini bikin wisatawan tidak nyaman. Kita mau ngejar PAD (Pendapatan Asli Daerah), mau ngejar peningkatan pariwisata. Ini pesan presiden langsung loh. Jadi semua kita diskusikan saja. Saya tegaskan saya ada di masyarakat. Tapi kalau tanah itu bukan tanah dia jangan diakui dong. Aturan hukum kita patuhi,” ujar dia.
Lagipula, kata dia, pihak pengembang juga sudah membuka peluang bagi warga untuk berkomunikasi melakukan negosiasi.
Dijelaskan dia lebih lanjut, sebenarnya kasus sengketa antara warga dan pengembang berlangsung sudah sejak tahun 90-an. Masing-masing pihak, ujar dia, saling mengklaim memiliki lahan. Dari sejarahnya, kata dia, Pulau Pari memang dikuasai pengembang, setelah ada warga yang menjual lahan.
Hal ini, kata Budi, disertai bukti pernyataan dari sebagian warga lama yang mengakui kalau itu bukan lahan mereka. Dari informasi yang diterimanya, kata Budi, warga Pulau Pari kemudian oleh pengembang ditawarkan pindah ke Pulau Tidung. Tapi warga kemudian kembali lagi. “Alasannya karena panen rumput laut lebih bagus di Pulau Pari,” ucap dia.
Sambung Budi, dari luas Pulau Pari yang sekitar 45 hektar, PT PBA mengatakan memiliki lahan seluas 42 hektar. “Mereka baru menjalani proses permohonan SIPPT (Surat Izin Penunjuk Penggunaan Tanah) ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) kurang lebih tujuh hektar,” kata dia.
Menegaskan kembali kalau posisinya dalam sengketa ini adalah netral, Budi menyerahkan kedua belah pihak untuk membuktikan saja masing-masing kepemilikan atas lahan. “Yang membuktikan sertifikat benar atau tidak kan BPN dan Pengadilan,” saran dia.
Artikel ini ditulis oleh: