Jakarta, Aktual.com – Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berkali-kali mengatakan akan menggunakan incinerator di tiap kelurahan untuk mengolah sampah-sampah di DKI Jakarta. Tapi Ahok sejauh ini belum menjelaskan secara rinci incinerator seperti apa yang akan digunakan DKI.
Padahal, menurut pimpinan manajemen (CEO) Gikoko Kogyo Indonesia, Joseph Wu Chao Wang, pemerintah wajib melakukan sosialisasi tentang kesehatan publik dan lingkungan yang diakibatkan oleh proses pengolahan sampah menggunakan incinerator.
“Sebelum menggunakan teknologi itu, sebaiknya pemerintah melakukan kajian risiko kesehatan terlebih dahulu dan menginformasikan kepada masyarakat luas,” kata Joseph, di Jakarta, Rabu (6/1).
Kata dia, apabila pemerintah tetap memilih untuk menggunakan teknologi insinerator, maka pemerintah wajib menyediakan anggaran kesehatan lebih untuk masyarakat yang beresiko tinggi terkena dampaknya, baik secara preventif maupun kuratif.
Sebagai pembuat kebijakan, kata dia, sudah semestinya pemerintah dengan masukan dari berbagai pihak menerapkan cara yang aman untuk digunakan. “Tidak hanya berpihak atau hanya mempertimbangkan pendapat satu golongan saja. Sebaiknya memilih menggunakan teknologi yang benar-benar ramah lingkungan sehingga mampu meminimalisir resiko yang merugikan masyarakat,” ucap Joseph.
Insinerasi sendiri pada dasarnya adalah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen.
Sebelumnya, peneliti Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI Anto Tri Sugiarto pernah mengatakan teknologi incinerator selama ini tidak digunakan karena menghasilkan gas buang dioxin yang mematikan. Terlebih dengan suhu pembakaran antara 800 hingga 1000 derajat celsius (C) kontaminasi cukup tinggi.
Hal itu diakuinya jadi dilema. Sebab teknologi pembakaran sampah dengan insinerator memang paling pas untuk menyelesaikan masalah sampah perkotaan hingga di level kecamatan atau kelurahan. Sehingga tidak perlu mengirim sampah ke tempat pembuangan akhir.
LIPI, kata dia, sudah mencoba cari jalan keluar di persoalan gas buang dengan menciptakan plasma di insinerator. Sehingga bisa menghambat terjadinya varian gas buang dioxin, NOx, dan SOx. Dengan plasma, dioxin dapat ditekan hingga 99 persen, sedangkan NOx dan SOx dapat ditekan hingga 90 persen.
“Paling buruk dioxin bisa ditekan 70 persen lah kira-kira dengan plasma. Untuk baku mutu, contohnya SOx tadi 250 ppm bisa jadi 32 ppm,” ujar dia, 20 November 2015 lalu.
Teknologi semacam itu, ujar dia, sudah dilakukan Jepang. Dia mencontohkan di Tokyo, yang menggunakan insinerator berskala besar di 20 distrik. Sehingga dapat menghasilkan listrik. Dengan pembakaran minimal 800 ton sampah per hari dengan insinerator dapat menghasilkan dua megawatt (MW). Sedangkan Jakarta, menurut dia, membutuhkan paling tidak butuh 10 insinerator skala besar dengan plasma. “Sehingga sekaligus mampu menghasilkan energi,” ujar dia.
Artikel ini ditulis oleh: