Jakarta, Aktual.com – Gempita aksi damai Reuni 212, yang berlangsung hari ini, serupa bahkan konon lebih besar dari aksi 212 jilid 1. Barisan manusia segala usia menyusuri jalan-jalan, bahkan gang-gang sempit, beriringan dengan sepeda motor, diantara bus-bus besar yang parkir dalam radius sekitar satu kilometer dari lingkar Monas.
Disamping atribut bersama berupa bendera dan topi tauhid, dari raut wajah dan kostum yang dipakai peserta aksi dapat dikenali dengan mudah; mereka berasal dari berbagai kelompok aliran, tidak homogen, sehingga tidak bisa aksi ini dibilang milik kelompok tertentu. Bahkan, banyak (jika tidak dibilang kebanyakan) yang memakai pakaian ala santri Aswaja, lengkap dengan sarung dan sorban serta peci khasnya. Tidak diragukan mereka adalah kaum Nahdliyin yang kehadirannya membuat aksi ini jadi spektakuler.
Secara sederhana dapat dikatakan, peserta aksi ini adalah gabungan massa inti 212 (FPI, pengikut HRS, eks HTI, anggota PKS, Gerindra dan PAN, dan kaum Islam kota), ditambah kalangan habaib dan jamaah muhibbin, serta tentunya kalangan pesantren. Diluar itu adalah simpatisan yang tersebar di berbagai daerah. Pertanyaan yang menggelitik, dimanakah NU? Apakah NU tidak ikut aksi 212 ini? Benarkah tidak ada jamaah NU dalam aksi ini?
Menyebut NU, biasanya dibedakan antara NU struktural dan kultural. Struktural adalah pengurus NU di berbagai tingkatan. Ini tidak terlalu banyak. Yang terbesar adalah jamaah kultural NU yang terdiri dari para kyai, santri, majelis-majelis taklim, jamaah thariqah, dan simpatisan. NU struktural tidak ikut 212 karena punya kandidat cawapres dari kubu petahana.
Benarkah NU tidak hadir di 212? Mereka yang ada di TKP pasti percaya bahwa jamaah kultural NU justru yang sangat mewarnai setiap aksi 212. Para santri yang long march dari Ciamis dan kota lain, para kyai dan habaib yang menggerakkan jamaahnya untuk hadir, begitu juga para ustadz dari masjid dan musholla di berbagai wilayah. Apalagi dengan ditampilkannya para ulama dan habaib dari kalangan mereka sebagai pembicara membuat langkah semakin ringan.
Sudah seringkali, NU kultural tidak sejalan dengan NU struktural. Sikap politik pimpinan NU tidak diikuti oleh jamaahnya, meski perbedaan tidak dilakukan frontal, khas ala NU yang mengedepankan adab pada ulama. Dari sebuah anomali, hal ini justru memberi keuntungan kepada NU secara keseluruhan. Sederhananya, NU jadi ada dimana-mana, tidak ketinggalan dalam setiap momen sejarah. Sikap NU struktural yang terlalu politis praktis sering menimbulkan keprihatinan umatnya. Mereka wujudkan ‘protes’ mereka dengan bersikap berbeda, termasuk dalam aksi 212 ini. Warga NU pasti menghormati KH Makruf Amin sebagai pimpinan, namun tidak diwujudkan dalam dukungan elektoral.
Beberapa kali aksi 212, bagi saya sebagai warga NU, harus menjadi bahan refleksi. Umat rela ongkosi sendiri perjalanannya, ada yang menyumbang sukrela makanan untuk peserta, bahkan pedagang kecil yang gratiskan dagangannya, adalah fakta baru filantropi kolosal umat Islam. Bahwa tokoh baru, idola baru, bahkan organisasi baru, bisa hadir dan berpengaruh luar biasa kepada umat Islam. Nama-nama yang ada di pusaran 212 bukanlah orang hebat awalnya, tapi mereka dihebatkan oleh umat. Perlu cara pandang dan sikap yang lebih kontekstual ketimbang sekadar melabelkan istilah ‘radikal’, ‘anti NKRI’, ‘intoleran’ yang memang sensasional sebagai retorika. Umat butuh lebih dari itu. Mereka berharap NU hadir sebagai ‘abang tertua’ yang ngemong dan mengarahkan ‘adik-adik’-nya. NU yang memastikan keadilan bagi mayoritas dan perlindungan terhadap minoritas, serta sebagai ‘keluarga besar’ bangsa menjamin utuhnya NKRI.
Jayalah NU
Jayalah umat Islam
Jayalah NKRI
Ditulis oleh: KH Jamaludin F Hasyim
Artikel ini ditulis oleh:
Eka