Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Tantowi Yahya menilai persoalan penanganan terorisme sebagai ‘extra ordinary crime’ memerlukan koordinasi antar lembaga terkait, bukan revisi Undang-undang Intelejen maupun terorisme.

“Kami di komisi I belum jadi sikap di komisi, tapi kami anggap bahwa yang dibutuhkan peningkatan koordinasi antara kementerian dan lembaga di pemeritah ketika ada ancaman atau sudah terjadi aksi terorisme seperti minggu lalu (di Jalan Thamrin),” kata Tantowi di Komplek Parlemen, Senayan, Senin (18/1).

Tantowi mengatakan bahwa semangat dalam melihat dua UU tersebut, baik intelejen dan terorisme, merupakan produk baru yakni agar dapat berlaku lama. Pasalnya, UU Intelejen baru disahkan pada 2011 lalu.

“Pembuatannya lama sekali jadi kita ingin UU tersebut bersifat jangka panjang, antisipatif dan ‘futuristik’. Artinya, UU ini sudah harus mengantisipasi ancaman-ancaman yang ada terkait dengan keselamatan NKRI,” papar politikus Golkar itu.

“Kami nilai UU intelejen sudah penuhi unsur itu, UU apapun tidak memiliki kekuatan apa-apa ketika para pelaksana tidak lakukan koordinasi apalagi menghadapi ancaman terorisme, tidak dapat diselesaikan satu lembaga saja harus bersifat kolaboratif, dan koordinatif,” tambahnya.

Ia menjelaskan bahwa tugas badan intelejen negara (BIN) yakni melakukan penangkalan dini atau early warning, sehingga tidak ada filosofinya BIN melakukan upaya kewenangan menangkap.

“Kami tak sepakat ketika BIN harus di instal dengan wewenang baru yaitu penangkapan, akan terjadi wewenang baru insttitusi yang nangkap orang nantinya, sementara pertanggungjawaban ke publik gimana? Jadi BIN yang bener ya seperti ini, bagaimana BIN berikan informasi intelejen kemudian Polri/TNI dan lain-lainnya melakukan tindakan,” papar politikus Golkar itu.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang