Soekarno Sebagai Penggali Pancasila (Aktual/Ilst)
Soekarno Sebagai Penggali Pancasila (Aktual/Ilst)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Menurut pengakuannya di kemudian hari, pada malam menjelang 1 Juni, dia bertafakur, menjelajahi lapis demi lapis lintasan sejarah bangsa, menangkap semangat yang bergelora dalam jiwa rakyat, dan akhirnya menengadahkan tangan meminta petunjuk kepada Tuhan agar diberi jawaban yang tepat atas pertanyaan tentang dasar negara yang hendak dipergunakan untuk meletakkan Negara Indonesia merdeka di atasnya. Selengkapnya, Soekarno menuturkan sebagai berikut: Tengah-tengah malam yang keesokan harinya saya akan diharuskan mengucapkan pidato giliran saya, saya keluar dari rumah Pegangsaan Timur 56, Pegangsaan Timur 56 yang sekarang tempat daripada Gedung Pola. Saya keluar di malam yang sunyi itu dan saya menengadahkan wajah saya ke langit, dan saya melihat bintang gemerlapan, ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu. Dan di sinilah saya merasa kecilnya manusia, di situlah saya merasa dhaifnya aku ini, di situlah aku merasa pertanggungan-jawab yang amat berat dan besar yang diletakkan di atas pundak saya, oleh karena keesokan harinya saya harus mengemukakan usul saya tentang hal dasar apa Negara Indonesia Merdeka harus memakai.

Pada saat itu dengan segenap kerendahan budi saya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa: “Ya Allah, ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku. Berikanlah petunjuk kepadaku apa yang besok pagi akan kukatakan, sebab Engkaulah ya Tuhanku, mengerti bahwa apa yang ditanyakan kepadaku oleh Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu bukan barang yang remeh, yaitu dasar daripada Indonesia Merdeka. Dasar daripada satu Negara yang telah diperjoangkan oleh seluruh Rakyat Indonesia berpuluh-puluh tahun dengan segenap penderitaannya, yang penderitaan-penderitaan itu aku sendiri telah melihatnya. Dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang menjadi salah satu unsur daripada Amanat Penderitaan Rakyat. Amanat Penderitaan Rakyat. Aku, ya Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan Rakyat untuk mendatangkan Negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara. Aku melihat Rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia-punya harta-benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan. Bahkan aku pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan kepada saya sebagai berikut: ‘Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjoangan kita ini’. Ya Tuhan, ya Allah, ya Rabbi, berilah petunjuk kepadaku, sebab besok pagi aku harus memberi jawaban atas pertanyaan yang maha penting ini.”

Saudara-saudara, setelah aku mengucapkan do’a kepada Tuhan ini, saya merasa mendapat petunjuk. Saya merasa mendapat ilham. Ilham yang berkata: Galilah apa yang hendak engkau jawabkan itu dari bumi Indonesia sendiri. Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini, agar supaya sebagai hasil dari penggalian itu dapat dipakainya sebagai dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (Soekarno, 1964: 6-8).

Dalam kesempatan lain, Soekarno mengatakan bahwa kita dalam mengadakan Negara Indonesia Merdeka itu, “harus dapat meletakkan negara itu atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntunan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini”. Lantas dia katakan, “Saya beri uraian itu tadi agar saudara-saudara mengerti bahwa bagi Republik Indonesia, kita memerlukan satu dasar yang bisa menjadi dasar statis dan yang bisa menjadi Leitstar dinamis. Leitstar, bintang pimpinan.” Lebih lanjut, “Kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, dan jikalau kita mencari suatu Leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri…. Kalau kita mau memasukkan elemen-elemen yang tidak ada di dalam jiwa Indonesia, tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.” Selengkapnya, dia katakan:
Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu kita memikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri. Kalau kita mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri, kandas. Ya bisa menghikmati satu dua, seratus dua ratus orang, tetapi tidak bisa menghikmati sebagai jiwa tersendiri. Kita harus tinggal di dalam lingkungan dan lingkaran jiwa kita sendiri. Itulah kepribadian. Tiap-tiap bangsa mempunyai kepribadian sendiri, sebagai bangsa. Tidak bisa opleggen dari luar. Itu harus laten telah hidup di dalam jiwa rakyat itu sendiri.

Akhirnya dia katakan, “Susah mencarinya, mana ini elemen-elemen yang harus nanti total menjadi dasar statis dan total menjadi Leitstar dinamis.” Setelah digali dalam-dalam, “Saya gali sampai jaman Hindu dan pra-Hindu,…melihat macam-macam saf”, total dasar statis dan Leitstar dinamis itu, menurutnya, “berkristalisir di dalam lima hal”. “Dari jaman dahulu sampai jaman sekarang, ini yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia. Satu waktu ini lebih timbul, lain waktu itu yang lebih kuat, tetapi selalu schakering itu lima ini” (Soekarno, 1958; II: 8-15).

Kelima prinsip meja statis dan Leitstar dinamis itulah yang dia uraikan dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Berdiri di podium marmer, di tempat yang pernah digunakan oleh Gubernur Jenderal untuk membuka resmi Volkstaad, Soekarno mengawali uraiannya dengan menyerukan “bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham”:
Kita bersama-sama mencari persatuan philosofische grondslag, mencari satu ‘Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.

Kelima prinsip yang menjadi titik persetujuan (common denominator) segenap elemen bangsa itu, dalam pandangan Bung Karno:
Pertama: kebangsaan Indonesia.
Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat… Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya,–tetapi ‘semua buat semua’…. “Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.”

Kedua: Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme…. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Ketiga: Mufakat atau demokrasi.
Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan… Kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan…. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.

Keempat: Kesejahteraan sosial.
Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial…. Maka oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Kelima: Ketuhanan yang berkebudayaan.
Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa…. bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.

Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila. “Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.” Mengapa dasar meja statis dan Leitstar dinamis yang mempersatukan bangsa itu dibatasi lima? Jawaban Soekarno, selain kelima unsur itulah yang memang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia, dia juga mengaku suka pada simbolisme angka lima. Angka lima memiliki nilai “keramat” dalam antropologi masyarakat Indonesia. Soekarno menyebutkan, “Rukun Islam lima jumlahnya. Jari Kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indra. Apalagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pandawa lima). Pandawa pun lima bilangannya.” Hal lain juga bisa ditambahkan, bahwa dalam tradisi Jawa ada lima larangan sebagai kode etika, yang disebut istilah “Mo-limo”. Taman Siswa dan Chuo Sangi In juga memiliki “Panca Dharma”.

Selain itu, bintang—yang amat penting kedudukannya sebagai pemandu pelaut dari masyarakat bahari—juga bersudut lima. Asosiasi dasar negara dengan bintang ini digunakan Soekarno dalam penggunaan istilah Leitstar (bintang pimpinan).

Urutan-urutan kelima sila itu disebutkan Soekarno sebagai urutan sequential, bukan urutan prioritas. Bahwa dalam suatu majelis yang terdiri keragaman elemen, seruan ke arah titik persetujuan itu harus dimulai dengan mengangkat keragaman itu ke dalam suatu kode komunitas politik bersama, yakni entitas kebangsaan. Tetapi tidaklah berarti bahwa sila-sila berikutnya sebagai derivasi dari sila kebangsaan. Masing-masing sila Pancasila merupakan satu kesatuan integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Soekarno sendiri tidak memandang susunan urutan sila-sila Pancasila itu sebagai sesuatu yang prinsipil. Dalam penjelasannya di kemudian hari, dalam buku Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, jilid IV-V (1958: 3), dia menyatakan sebagai berikut: Urutan-urutan yang biasa saya pakai untuk menyebut kelima sila daripada Panca Sila itu ialah: Ke-Tuhanan yang Maha Esa; Kebangsaan nomor dua; Peri-Kemanusiaan nomor tiga; Kedaulatan Rakyat nomor empat; Keadilan sosial nomor lima. Ini sekedar urut-urutan kebiasaan saja. Ada kawan-kawan yang mengambil urut-urutan lain yaitu meletakkan sila Peri-Kemanusiaan sebagai sila yang kedua dan sila Kebangsaan sebagai sila ketiga. Bagi saya prinsipiil tidak ada keberatan untuk mengambil urut-urutan itu.

Sungguh pun Soekarno telah mengajukan lima sila dari dasar negara, dia juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak menyukai bilangan lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari segala dasar kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan bisa dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila: Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah ‘perasan’ yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang yang satu itu?

Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong.

Dengan kata lain, dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong-royong. Maknanya adalah: Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip intenasionalismenya harus berjiwa gotong-royong (yang berperikemanusian dan berperikeadilan); bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (mayorokrasi) atau minoritas elit penguasa-pemodal (minorokrasi). Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.

Pidato Soekarno tentang Pancasila itu begitu heroik, empatik dan sistematik, sehingga mendapatkan sambutan yang meriah dari para anggota BPUPK. Dikatakan heroik, karena berpidato dengan menyerukan kemerdekaan dengan dasar-dasar negara yang diidealisasikannya di tengah opsir-opsir balatentara Jepang bersenjatakan bayonet adalah suatu tindakan yang penuh risiko. Soekarno sendiri mengakui: Saya sadar, Saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah jaman perang, kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis Jepang, tetapi juga pada waktu itu, Saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan akibatnya (Soekarno, 1964: 9).

Dikatakan empatik, karena Soekarno berusaha menghargai dan melibatkan semua unsur ke dalam kerangka persetujuan. Dikatakan sistematik, karena dia menguraikan Pancasila itu secara runtut, logis dan koheren.

Namun demikian, betapapun hebatnya uraian Soekarno tentang dasar negara itu, dia menolak dirinya disebut sebagai pencipta Pancasila: Kenapa diucapkan terima-kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah saya sering katakan, bahwa saya bukan pencipta Panca Sila. Saya sekadar penggali Panca Sila daripada bumi tanah-air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Panca Sila ini, Saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya…. Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala (Soekarno, 1964: 5-6).

Selain itu, betapapun hebatnya hasil penggalian dan uraian Soekarno itu, eksposisinya masih merupakan pandangan pribadi. Untuk diterima sebagai (rancangan) dasar negara, harus disepakati oleh konsensus bersama, setidaknya pada fase ini, lewat persetujuan anggota-anggota BPUPK. Pada proses mendapatkan konsensus bersama inilah, prinsip-prinsip Pancasila dari Pidato Soekarno itu mengalami proses reposisi dan penyempurnaan. Proses ini berlangsung segera setelah masa persidangan pertama BPUPK berakhir.
Di akhir masa persidangan pertama, Ketua BPUPK membentuk Panitia Kecil yang bertugas untuk mengumpulkan usul-usul para anggota yang akan dibahas pada masa sidang berikutnya (10-17 Juli 1945). Panitia Kecil yang resmi ini beranggotakan delapan orang (Panitia Delapan) di bawah pimpinan Soekarno. Terdiri dari 6 orang wakil golongan kebangsaan dan 2 orang wakil golongan Islam.

Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia Kecil, di masa reses Soekarno melakukan berbagai inisiatif, yang menurut pengakuannya sendiri, di luar kerangka formalitas. Dia memanfaatkan masa persidangan Chuo Sangi In ke VIII (18-21 Juni) di Jakarta untuk mengadakan pertemuan yang terkait dengan tugas Panitia Kecil. Selama pertemuan yang dihadiri oleh 38 orang tersebut, Panitia Kecil dapat mengumpulkan dan memeriksa usul-usul dari 40 Iin menyangkut beberapa masalah yang dapat digolongkan ke dalam 9 kategori:
1. Indonesia merdeka selekas-selekasnya
2. Dasar (Negara)
3. Bentuk Negara Uni atau Federasi
4. Daerah Negara Indonesia
5. Badan Perwakilan Rakyat
6. Badan Penasihat
7. Bentuk Negara dan Kepala Negara
8. Soal Pembelaan
9. Soal Keuangan

Khusus mengenai dasar negara, usul-usul yang dapat dikumpulkan itu secara garis besarnya bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kebangsaan dan Ketuhanan diusulkan oleh 11 Iin.
2. Kebangsaan dan Kerakyatan diusulkan oleh 2 Iin.
3. Kebangsaan, Kerakyatan dan Ketuhanan diusulkan oleh 3 Iin.
4. Kebangsaan, Kerakyatan dan Kekeluargaan diusulkan oleh 4 Iin.
5. Kemakmuran hidup bersama, kemajuan kerohanian dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Igama Negara ialah agama Islam, diusulkan oleh 1 Iin.
6. Kebangsaan, Kerakyatan dan Islam, diusulkan oleh 3 Iin.
7. Jiwa Asia Timur Raya diusulkan oleh 4 Iin.

Di akhir pertemuan tersebut, Soekarno juga mengambil inisiatif informal lainnya, dengan membentuk Panitia Kecil (“tidak resmi”) yang beranggotakan 9 orang, yang kemudian dikenal sebagai “Panitia Sembilan”. Panitia ini bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang di dalamnya termuat Dasar Negara.

Karena penghormatan Soekarno pada golongan Islam, komposisi Panitia Sembilan ini lebih seimbang ketimbang Panitia Delapan (bentukan resmi BPUPK), yakni terdiri dari 5 orang wakil golongan kebangsaan (termasuk Soekarno sebagai penengah) dan 4 orang wakil golongan Islam, kendati jumlah wakil golongan Islam di BPUPK maupun dalam pertemuan ini kurang dari 25 persen total anggota/peserta pertemuan. Panitia Sembilan ini pun diketuai oleh Soekarno, yang dibentuk sebagai ikhtiar untuk mempertemukan pandangan antara dua gologan tersebut menyangkut dasar kenegaraan. Seperti diakui Soekarno, “Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan paham antara kedua golongan ini.” Namun, dengan komposisi yang relatif seimbang antara dua golongan tersebut, Panitia ini berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan Pembukaan UUD itu, yang kemudian ditandatangani oleh setiap anggota Panitia Sembilan pada 22 Juni. Oleh Soekarno rancangan Pembukaan UUD ini diberi nama “Mukaddimah”, oleh M. Yamin dinamakan “Piagam Jakarta”, dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut “Gentlemen’s Agreement”.

(Bersambung…)