Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) mencerminkan usaha kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan. Titik temu antara kedua golongan tersebut diikat pada alinea ketiga: “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas….” Alinea ini mencerminkan pandangan golongan kebangsaan—yang menitikberatkan kehidupan kebangsaan yang bebas, dan golongan Islam—yang melandaskan perjuangannya atas rahmat Allah. Munurut Muhammad Yamin, dengan menyebut ’Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa’, Konstitusi Republik Indonesia berlindung kepada Allah, dan dengan itu ’maka syarat agama dipenuhi dan rakyat pun tentu menimbulkan perasaan yang baik terhadap hukum dasar ini’.
Ujung kompromi bermuara pada alinea terakhir, yang mengandung rumusan dasar negara berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. Islam tidak dijadikan dasar negara (dan agama negara), tetapi terjadi perubahan dalam tata urut Pancasila dari susunan yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni. Prinsip ’Ketuhanan’ dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan anak kalimat, ’dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ (kemudian dikenal dengan istilah ’tujuh kata’).
Bagi golongan Islam, penambahan ’tujuh kata’ itu dianggap penting sebagai bentuk politik pengakuan. Seperti dinyatakan oleh Prawoto Mangkoesasmito, golongan Islam sepakat dengan semua sila Pancasila, namun menuntut penambahan “tujuh kata” dari sila Ketuhanan karena hal itu menandai hal yang penting. Bahwa Islam yang selama zaman kolonial terus dipinggirkan akan mendapat tempat yang layak dalam negara Indonesia merdeka (Al-Ghazali, 1998b: 19-33).
Selain itu, prinsip ’Internasionalisme atau peri-kemanusiaan’ tetap diletakkan pada sila kedua, namun redaksinya mengalami penyempurnaan menjadi ”Kemanusian yang adil dan beradab”. Prinsip ’Kebangsaan Indonesia’ berubah posisinya dari sila pertama menjadi sila ketiga. Bunyinya menjadi ”Persatuan Indonesia”. Prinsip ’Mufakat atau demokrasi’ berubah posisinya dari sila ketiga menjadi sila keempat. Bunyinya menjadi ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Prinsip ’Kesejahteraan sosial’ berubah posisinya dari sila keempat menjadi sila kelima. Bunyinya menjadi ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Menurut Mohammad Hatta, dengan perubahan posisi prinsip Ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, ’ideologi negara tidak berubah karenanya, melainkan negara dengan ini memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat’. Dengan demikian, fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (dari sila kedua sampai dengan kelima). Lepas dari itu, penyempurnaan redaksi sila-sila tersebut juga memberikan kualifikasi yang penting tentang bagaimana sifat dan orientasi ideal yang terkandung dari sila-sila tersebut. Pada sila kedua, prinsip internasionalisme (peri-kemanusiaan) itu harus bersifat adil dan beradab. Pada sila ketiga, prinsip kebangsaan itu harus bersifat mempersatukan. Pada sila keempat, prinsip demokrasi itu harus bersifat kerakyatan dan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Pada sila kelima, prinsip kesejahteraan itu harus bersifat adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hasil rumusan Piagam Jakarta dan berbagai usulan yang berhasil dihimpun selama reses itu kemudian dilaporkan dan didiskusikan pada masa persidangan kedua BPUPK (10-17 Juli 1945). Ketika melaporkan hasil-hasil yang telah dilakukan Panitia Kecil (resmi) pada 10 Juli, Soekarno menyadari bahwa kegiatan pertemuan dan rumusan-rumusan yang dihasilkannya itu melanggar formalitas. Bukan saja tempat dan mekanismenya yang tidak resmi, tetapi juga melampaui kewenangannya. Menurut rancangan Jepang, tugas BPUPK hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, adapun tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI. Dalam laporannya Soekarno mengakui: Semua anggota Panitia Kecil sadar sama sekali bahwa jalannya pekerjaan yang kami usulkan itu sebenarnya ada yang menyimpang daripada formaliteit, menyimpang daripada aturan formeel yang telah diputuskan, telah ditentukan. Tetapi anggota Panitia Kecil berkata: Apakah arti formaliteit di dalam zaman gegap gempita ini. Apakah arti formaliteit terhadap desakan sejarah sekarang ini.
Hasil rumusan Piagam Jakarta itu mendapat respons yang tajam dari Latuharhary. Dalam tanggapannya pada 11 Juli, dia menyatakan keberatan atas pencantuman ”tujuh kata” itu. Menurutnya: Akibatnya akan sangat besar sekali, umpamanya terhadap pada agama lain. Maka dari itu saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam. Saya usulkan supaya dalam hukum dasar diadakan pasal 1 yang terang supaya tidak ada kemungkinan apapun juga yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan yang bersangkutan.
Tanggapan Latuharhary merangsang perdebatan pro-kontra menyangkut ”tujuh-kata” beserta pasal-pasal ikutannya, seperti ”agama negara” dan syarat agama seorang Presiden, yang nyaris membawa sidang ke jalan buntu. Berkat kewibawaan Soekarno, untuk sementara waktu, kemacaten bisa diatasi. Pada 11 Juli, Soekarno berkata, ”Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam.” Pada 16 Juli, dengan berlinang air mata Soekarno menghimbau agar yang tidak setuju dengan hasil rumusan Panitia bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia. Dengan demikian, hasil rumusan Piagam Jakarta (dengan ”tujuh kata”-nya) itu bertahan hingga akhir masa persidangan kedua (17 Juli 1945).
Di luar persoalan ”tujuh kata”, yang masih mengganjal, seluruh anggota BPUPK dapat menerima pokok-pokok pikiran dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 itu, yang disepakati pada 11 Juli. Semangat gotong-royong (kekeluargaan) sebagai sifat dasar manusia Indonesia yang disebutkan oleh Soekarno tercermin dalam penerimaan ini, juga terefleksikan dalam proses perumusan hukum dasar (batang tubuh UUD).
Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPK (11 Juli), Radjiman Wediodiningat selaku Ketua BPUPK membentuk tiga kelompok panitia: (1) panitia perancang hukum dasar, (2) panitia perancang keuangan dan ekonomi, (3) panitia perancang pembelaan tanah air. Yang pertama diketuai oleh Soekarno, yang kedua diketuai oleh Mohammad Hatta, dan yang ketiga diketuai oleh Abikoesno Tjokrosoejoso.
Dalam perkembangannya, Panitia Perancang Hukum Dasar yang diketuai Soekarno membentuk Panitia Kecil yang bertugas untuk merumuskan rancangan UUD. Mereka yang ditunjuk oleh Soekarno sebagai anggota Panitia Kecil ini adalah Wongsonagoro, Soebardjo, Maramis, Soepomo, Soekiman, dan Agus Salim. Atas usul Wongsonagoro, Soepomo menjadi ketua dari Panitia Kecil ini. Penunjukan Soepomo mencerminkan kualitasnya sebagai ahli hukum. Seorang sarjana yang cemerlang, yang meraih gelar Doktor dari Universitas Leiden dalam bidang hukum pada 1927 dengan predikat cum laude; orang kedua yang mendapat gelar profesor pada zaman Hindia Belanda (pada 1942). Selain itu, dia juga memiliki pengalaman keterlibatan dalam komisi ketatanegaraan (Komisi Visman); yang dibentuk pada 14 September 1940 untuk merespons aspirasi kalangan pergerakan, seperti yang menuntut agar Indonesia mempunyai parlemen sendiri, dengan semboyan “Indonesia Berparlemen”. Lebih dari itu, Soepomo bersama Subardjo dan Maramis, sejak (4 April) 1942 bahkan telah menyusun rancangan UUD Indonesia Merdeka.
Berkat kapabilitas, pengalaman, dan empatinya yang mendalam atas perasaan umum yang berkembang dalam masyarakat dan dalam suasana persidangan, Panitia Kecil perancang hukum dasar ini dalam tempo singkat berhasil merumuskan rancangan UUD yang adekuat dan tahan banting (durable). Panitia Kecil mulai merumuskan rancangannya pada 11-12 Juli; hasil rumusannya kemudian diperbicangkan dalam Rapat Besar Panitia Perancang yang diketuai oleh Soekarno pada 13 Juli 1945. Setelah diperbincangkan dalam Rapat Besar Panitia Perancang, lahirlah Rancangan Pertama UUD. Setelah Rancangan Pertama ini dibahas dalam Rapat Besar BPUPK pada 14 Juli, lahirlah Rancangan Kedua UUD.
Rancangan Kedua ini kemudian mendapat masukan-masukan baru lagi pada Rapat Besar BPUPK pada 15-16 Juli, maka kemudian lahirlah Rancangan Ketiga (Terakhir).
Dalam membuat rancangannya, Panitia Kecil mendasarkan susunannya berdasarkan apa yang disebut Soepomo sebagai “sistematik negara kekeluargaan”. Dengan demikian, jika dasar dari semua sila Pancasila adalah “gotong-royong”, maka dasar dari semangat dan sistematik penyusunan UUD pun senafas dengan itu, yakni “kekeluargaan”. Sistematik negara kekeluargaan ini mencerminkan semangat umum yang berkembang dalam persidangan BPUPK. Gagasan negara kekeluargaan ini tidak hanya mencerminkan gagasan negara integralistik dari Soepomo, seperti yang sering disangkakan. Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, melainkan merupakan perpaduan dari banyak unsur: paham kesatuan kawula dan gusti dalam konsepsi tradisi (khususnya Jawa), konsepsi kekeluargan Hakkoo Itjiu Jepang, perspektif sosialisme Islam tentang ketidakterpisahan individu dan masyarakat (fardhu ‘ain dan fardhu kifayah), perspektif sosialisme pelayanan kasih Kristiani (Christian Confession), corak populisme radikal ala Soekarno, demokrasi sosial ala Hatta, dan paham integralisme ala Soepomo.
Dalam arus besar semangat dan konsepsi kekeluargaan itu, Soepomo tidak memaksakan pikirannya sendiri. Hal ini terlihat bahwa dalam merumuskan UUD, Panitia kecil mematuhi keputusan sidang tanggal 11 Juli, dengan menyusun UUD 1945 berdasar Piagam Jakarta (dengan “tujuh katanya”), bukan berdasar ‘staatsidee’ Negara Integralistik yang sebelumnya dianut oleh Soepomo.
Berlandaskan pada Piagam Jakarta, Panitia ini terlebih dahulu merumuskan lima (5) pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD.
1. Negara—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan ini kita menolak bentukan negara yang berdasar atas individualisme dan juga kita menolak bentukan negara sebagai ‘klasse-staat’, sebagai negara yang hanya mengutamakan satu kelas, satu golongan seperti menurut sistem Soviet, yang mengutamakan golongan pekerja dan tani.
2. Negara yang berdasar atas hidup kekeluargaan, akan menyelenggarakan dasar itu bukan saja kedalam, akan tetapi juga keluar…. Jadi dengan ini, kita akan membentuk negara berdasarkan kekeluargaan, tidak saja terhadap dunia dalam negeri, akan tetapi juga terhadap dunia di luar negeri.
3. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.
4. Negara berdasar atas ke-Tuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
5. Negara Indonesia memperhatikan keistimewaannya penduduk yang terbesar dalam lingkungan daerahnya, ialah penduduk yang beragama Islam. Dengan terang dikatakan dalam ‘pembukaan’ kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Dengan itu negara memperhatikan keistimewaannya penduduk yang terbesar, ialah yang beragama Islam.
Selanjutnya dikatakan bahwa “pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”. Selain itu, “pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tetulis (Undang-Undang Dasar), maupun hukum yang tidak tertulis.”
Batang tubuh UUD kemudian dirancang dengan dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD tersebut. Pemenuhan atas prinsip “Ketuhanan yang berkebudayaan” terkandung terutama pada pasal 29 (1, 2) dalam rancangan akhir UUD. Pemenuhan atas prinsip “Kemanusiaan yang adil dan beradab” terkandung terutama dalam pasal-pasal yang menyangkut hubungan luar negeri—pasal 11 dan 13; serta pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia—pasal 27 (1, 2), 28, 29, 30, 31, 34. Pemenuhan atas prinsip kebangsaan/persatuan terkandung terutama dalam pasal 1, 2, 3, 18, 26, 32, 35, 36. Pemenuhan prinsip ‘demokrasi permusyawaratan’ terkandung dalam pasal-pasal tentang sistem pemerintah negara, terutama pada pasal 1-28. Prinsip ‘keadilan sosial’ terkandung terutama pada pasal 23, 27 (2), 31, 33, dan 34.
Dalam pemenuhan prinsip ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, semula ada perdebatan sengit menyangkut isu hak-hak dasar (hak-hak asasi manusia) dalam hubungannya dengan konsepsi ‘negara kekeluargaan’, sebagai arus utama pemikiran politik Indonesia saat itu yang sangat mewarnai perumusan rancangan UUD. Titik krusialnya terletak pada persoalan hak sipil dan politik, dan secara lebih khusus lagi menyangkut kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Sejauh menyangkut hak ekonomi, sosial dan budaya, sesungguhnya tidak ada perselisihan pandangan.
Di satu sisi, Soepomo menganggap bahwa pencantuman Declaration of Rights sebagaimana dikemukakan di waktu Franse Revolutie dan di Amerika Serikat bersandar atas individualisme, dan jika hal itu dicantumkan dalam rancangan konstitusi tidaklah selaras dengan sistematik “kekeluargaan” dari rancangan ini. Pendapat ini mendapat sokongan dari Soekarno, meski dia mengajukan alternatif untuk membuat Declaration of Rights dalam ‘suasana kekelurgaan’. Meski begitu, Soepomo berusaha menjernihkan persoalan jaminan hak dasar individu dalam paham kekeluargaan. Dalam pandangannya, “jikalau jaminan hak-hak dasar orang seorang dalam undang-undang dasar yang bersifat kekeluargaan tidak diadakan, itu sama sekali tidak berarti, bahwa rakyat tidak boleh berserikat, tidak boleh bersuara atau tidak boleh berkumpul sama sekali!” Tentang hal ini, Soepomo menunjukkan contoh bahwa beberapa hak dasar warga negara dan penduduk telah terkandung dalam rancangan pertama dan kedua UUD. Yang dia sebutkan adalah pasal-pasal yang menyangkut “hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, “hak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”, “hak mendapatkan pengajaran”, dan “kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama”. Bagi Soepomo, dalam negara yang bersifat kekeluargaan bukanlah tidak ada jaminan bagi hak dasar individu, tetapi menghendaki agar warganegara lebih mengedepankan pemenuhan kewajibannya ketimbang menuntut haknya.
Di pihak lain, Muhammad Yamin, Agoes Salim, Mohammad Hatta, dan Soekiman, dengan alasan yang beragam, memandang perlu ada jaminan yang tegas mengenai kemerdekaan warga dalam UUD. Secara khusus, Mohammad Hatta menghendaki agar ada jaminan yang lebih tegas atas hak berserikat, berkumpul dan berpendapat dalam konstitusi, demi mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dengan dalih semangat kekeluargaan di kemudian hari. Dia sepakat dengan dasar kekeluargaan dan menurutnya dia pun lebih dari 20 tahun berjuang menentang individualisme. Akan tetapi harus dihindari kemungkinan negara kekeluargaan menjelma menjadi negara kekuasaan.
Dengan berbagai argumen itu, pada tanggal 15 Juli, Soepomo bersedia menempuh pilihan kompromistis. Menurutnya, dengan tidak dimasukkannya persoalan kemerdekaan warga itu ke dalam sistematik kekeluargaan, sesungguhnya ‘tidak berarti rakyat tidak akan mempunyai kemungkinan bersidang atau berkumpul dan lain-lain’, karena dalam negara modern hal itu dengan sendirinya diatur dalam undang-undang. “Akan tetapi di sini banyak dari anggota-anggota yang dengan beberapa alasan toh minta supaya hal ini masuk Undang-Undang Dasar juga…. Oleh karena itu, kami usulkan suatu aturan yang mengandung kompromis akan tetapi tidak akan menentang kepada sistematik dari rancangan anggaran dasar ini.” Bentuk komprominya, dalam UUD “dapat ditambahkan pasal yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul untuk mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan dan lain-lain yang diatur oleh undang-undang”. Klausul ini kemudian terkandung pada pasal 28 (Rancangan Terakhir). Dengan penerimaan itu, sekali lagi Soepomo berubah dari ‘staatsidee’ negara integralistik yang sebelumnya dia anut.
Dengan penerimaan itu pula, rancangan UUD 1945 mengandung semangat pemuliaan hak-hak dasar yang luas dan visioner. Meskipun pasal-pasal tentang hak dasar itu terbatas jumlahnya, secara substantif sudah meliputi apa yang kemudian sering disebut tiga generasi hak asasi manusia (hak sipil dan politik, hak demokratis, dan hak ekonomi, sosial dan budaya). Bahkan dalam pengakuan hak kolektif, UUD 1945 mendahului apa yang di kemudian hari akan tertuang dalam bill of human rights dari PBB. Bisa dipahami jika Mohammad Hatta mengatakan bahwa UUD 1945 adalah “undang-undang dasar yang paling modern” (pada zamannya).
Demikianlah, hingga masa persidangan kedua BPUPK berakhir (17 Juli), di luar skenario Jepang, BPUPK telah berhasil menyusun dasar negara (Pancasila), dalam Pembukaan UUD—versi Piagam Jakarta—sebagai norma dasar (Grundnorm), yang menjiwai perumusan (batang tubuh) Undang-Undang Dasar sebagai aturan dasar (Grund gesetze).
Fase Pengesahan
Namun demikian, betapapun terjadi konsensus secara luas dan rancangan UUD telah disepakati oleh sekalian anggota BPUPK pada 16 Juli, kecuali satu orang (Muhammad Yamin), di bawah permukaan rupanya masih tetap ada sesuatu yang mengganjal. Bagi anggota-anggota dari golongan kebangsaan, pencantuman ”tujuh kata” dalam Piagam Jakarta—yang mengandung perlakuan khusus bagi umat Islam—dirasa tidak cocok dalam suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara keseluruhan.
Suasana kebatinan seperti itulah yang akan mewarnai sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia ini didirikan pada 12 Agustus 1945, yang bertugas untuk mempercepat upaya persiapan terakhir bagi pembentukan sebuah pemerintahan Indonesia merdeka, termasuk menetapkan konstitusi. Jika kriteria utama keanggotaan BPUPK didasarkan pada latar belakang ideologis dan perwakilan golongan, kriteria utama keang¬gotaan PPKI lebih berdasarkan kedaerahan. Konsekuensinya, beberapa anggota kunci BPUPK, seperti Agoes Salim, Abdul Kahar Moezakir, Masjkur, Ahmad Sanoesi, Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Wongsonagoro dan M. Yamin tak termasuk anggota PPKI, yang bisa menimbulkan perubahan terhadap konsensus yang dihasilkan oleh BPUPK (Dijk, 1981: 60).