Tampak pembangunan gedung bertingkat di Kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (13/8/2015). Dalam draf nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016, pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8-6,2 persen. Bank Indonesia punya pandangan berbeda. BI lebih pesimis dengan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun depan lebih rendah dari target pemerintah. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com — Pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) mencapai lebih dari 5 persen di tahun ini disebut sebagai target yang bombastis. Pasalnya, ketika daya beli masyarakat belum pulih maka pertumbuhan yang besar sulit dicapai.

Tahun lalu perekonomian hanya tumbuh 4,79%. Tapi di tahun ini pemerintah dan BI malah menargetkan suku bunga tinggi. Pemerintah mematok pertumbuhan antara 5,3-5,5% sedang BI sebesar 5,2-5,6%.

“Tak hanya tekanan global, dari internal juga masih bermasalah. Tingkat daya beli masyarakat masih rendah, sehingga kalau seperti itu terus tidak mungkin pertumbuhan mencapai 5%,” tandas Direktur Eksekutif INDEF, Enny Srihartati saat RDP umum dengan Badan Anggaran DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (10/2).

Untuk itu, kata Enny, diharapkan pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Cuma masalahnya, selama ini kebijakan pemerintah untuk mendorong sektor produktif juga belum berjalan secara maksimal.

“Jadi ketika daya beli masyarakat belum pulih maka sangat sulit untuk mengharapkan pertumbuhan secara signifikan,” jelas Enny.

Lebih lanjut Enny menegaskan, jika pemerintah bisa mengatasi rendahnya daya beli masyarakat atau tingkat konsumsi masyarakat, maka diyakini perekonomian Indonesia dapat tumbuh di kisaran 5% dan investasi juga diharapkan dapat tumbuh lebih baik lagi.

“Sebenarnya kalau pemerintah mau, sekalipun ada gejolak ekonomi dunia, asal Indonesia mau fokus saja pada itu tadi (menggenjot daya beli masyarakat) maka tentu benchmark pertumbuhan ekonomi di 5% itu masih bisa dicapai,” paparnya.

Enny juga melihat faktor ekonomi global dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Mengingat masih anjloknya harga komoditas sat ini. Apalagi China, sebagai tujuan ekspor komoditas Indonesia juga sedang lesu. Pertumbuhan ekonomi kemungkinan akan anjlok di angka 6%.

“Jadi, penurunan harga komoditas dan harga minyak dunia yang terjadi saat ini menjadi tantangan bagi perekonomian kita,” tukasnya.

Sebagai informasi Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang 2015 mencapai 4,79% atau melambat bila dibanding 2014 sebesar 5,02%, sedangkan di Triwulan IV 2015 ekonomi tumbuh mencapai 5,04 (yoy).

Artikel ini ditulis oleh:

Eka