Menko Perekonomian Damin Nasution (kiri) bersama Sekretaris Kabinet Pramono Anung (kanan) memaparkan paket kebijakan ekonomi jilid VIII di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/12). Pemerintah mengeluarkan kebijakan ekonomi sekaligus untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yaitu kebijakan satu peta (one map policy), mempercepat pembangunan kilang minyak untuk meningkatkan produksi, serta pemberian insentif bagi jasa pemeliharaan pesawat. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/nz/15

Jakarta, Aktual.com — Diterbitkannya paket kebijakan ekonomi X yang membolehkan asing memiliki 17 sektor usaha strategis, bukti pemerintah sedang panik menghadapi perlambatan ekonomi, apalagi aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) juga mulai marak.

“Sangat disayangkan asing bisa menguasai 100 persen di 17 sektor strategis. Ini membuktikan pemerintah sangat tergesa-gesa dan terlihat panik, sehingga membuka DNI (daftar negatif investasi),” ucap ekonom dari Universitas Indonesia, Thelisa Felianty kepada Aktual.com, di Jakarta, Jumat (12/2).

Sikap ketergesa-gesaan dan kepanikan pemerintah ini akan mengorbankan rakyat. Soalnya kebijakan ini sangat berdampak negatif terhadap kondisi sektor usaha dalam negeri.

“Kalau sudah begini (diterbitkan) susah lagi dicabutnya. Rakyat akan merasakan dampak negatifnya. Sangat disayangkan sikap pemerintah seperti itu,” cetus dia.

Thelisa mengingatkan pemerintah dengan terjadinya liberalisasi di sektor perbankan. Setelah ada aturan liberalisasi itu, banyak bank-bank dimiliki asing.

“Baru kemudian kita menyesal bank-bank dimiliki asing. Kemudian ada wacana revisi UU untuk membatasi kepemilikan asing. Tapi sekarang, pemerintah malah mengulang lagi kesalahan itu,” sindir dia.

Lebih lanjut dia menegaskan, memang untuk menggenjot pertumbuhan butuh dana asing masuk, antara lain investasi langsung dari pengusaha asing (foreign dirext investment/FDI). Tapi, caranya bukan dengan kebijakan yang liberal ini.

“Justru mestinya pemerintah memikirkan dulu sektor-sektor mana sudah dan belum berdaya saing. Jangan sektor yang belum kuat berdaya saing dikuasai asing. Jangan-jangan pemerintah tidak punya data dan tidak melakulan riset terlebih dahulu,” papar dia.

Untuk itu dia menyarankan, sebagai langkah kontrolnya, di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), perlunya aturan yang lebih teknis. Seperti, dapat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin, tenaga kerjanya jangan berasal dari asing semua, harus mengutamakan tenaga kerja lokal, dan kebijakan proteksi lainnya.

“Jadi persyaratan teknis itu harus jelas. Intinya mendukung perlindungan ekonomi nasional. Meski itu sulit,” tutup dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka