Jakarta, Aktual.com — Pengamat hubungan internasional kawasan Timur Tengah Universitas Gadjah Mada, Siti Mutia, mengatakan dukungan Pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk kemerdekaan Palestina konsisten sejak era Presiden Soekarno.
Pendapat tersebut disampaikan menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo dalam KTT ASEAN-AS di Sunnylands, California, AS, 15 Februari 2016.
“Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina sudah sejak Presiden Soekarno, tidak ada Presiden Indonesia yang tidak mendukung kemerdekaan Palestina,” ujar dia, Kamis (18/2).
Mutia menjabarkan, dukungan-dukungan itu telah konkret, seperti izin pendirian kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Jakarta oleh Presiden Soekarno, bantuan keuangangan pada zaman Presiden Soeharto, pendirian rumah sakit Indonesia yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga rencana pengangkatan konsul kehormatan untuk Palestina yang direncanaan awal tahun ini oleh Presiden Joko Widodo.
“Semua dukungan itu semakin konsisten dengan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel,” kata dia.
Namun, menurut Mutia, semua dukungan dan prakarsa Indonesia harus diakui belum bisa menekan Israel untuk mematuhi hukum dan kesepakatan internasional terkait Palestina serta negosiasi menuju solusi dua negara.
Kuartet mitra wicara internasional untuk Palestina, yakni PBB, Uni Eropa, Rusia, dan AS harus berupaya lebih keras untuk mengajak Israel duduk di meja perundingan dan mematuhi kesepakatan internasional terkait Palestina dan Yerusalem pada khususnya.
Terkait Yerusalem, Mutia menyebutkan Israel telah melanggar kesepakatan tentang kependudukan, status kota suci Yerusalem, pengembalian pengungsi Palestina ke wilayah Palestina, dan penyaluran air dari tepi barat Sungai Jordan.
Mutia mengharapkan Pertemuan Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta pada 5-6 Maret mendatang dapat menghasilkan langkah konkret untuk mendukung Palestina dalam kemerdekaannya.
Pertemuan Luar Biasa OKI di Jakarta akan dihadiri 57 negara anggota OKI dan empat negara peninjau, yakni AS, Rusia, Bosnia Herzegovina, dan Republik Afrika Tengah.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara