Sejumlah Alumni Lintas Perguruan Tinggi yang tergabung dalam Gerakan Anti Korupsi (GAK) menunjukkan simbol penolakan saat aksi damai di gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/2). Dalam aksinya mereka menolak rencana revisi UU KPK. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/nz/16

Jakarta, Aktual.com — Peneliti Centre for Indonesian Political and Social Studies (CIPSS), Mohammad Hailuki, menyatakan DPR RI tidak cukup dengan menunda sidang paripurna pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

Akan tetapi, yang lebih penting adalah membatalkan rencana mengubah undang-undang yang menjadi pedoman lembaga anti rasuah itu dalam memberantas tindak pidana korupsi (tipikor).

“Ini tidak sekadar untuk menjaga nama baik DPR, tapi untuk menyelamatkan konsolidasi demokrasi bangsa ini,” terang Hailuki kepada wartawan, Kamis (18/2).

Menurutnya, keberadaan KPK merupakan hasil dari konsolidasi demokrasi di Indonesia. Keberadaannya dijadikan sebagai garda terdepan dalam memberantas korupsi. Namun ketika KPK menunjukkan kinerjanya dengan baik, belakangan justru muncul gerakan kontra reformasi.

Mereka disebutnya ingin mengembalikan keadaan seperti masa lalu, dimana perilaku koruptif berlangsung atas nama pembangunan. Gerakan ini menyusup ke berbagai sendi demokrasi, termasuk ke parlemen.

Atas dasar itulah ia mengingatkan, DPR akan melakukan self control terhadap gerakan yang salah satu misi operasinya adalah melemahkan KPK. Yakni, untuk meluruskan kembali jalan demokrasi Indonesia yang rentan dibajak oleh kaum oligarki.

“Perlu saya ingatkan, salah satu faktor keberhasilan konsolidasi demokrasi di negara berkembang adalah komitmen kuat dari para elite untuk melakukan penegakan hukum yang berkeadilan,” jelas Hailuki.

“Jadi apabila DPR tidak menghendaki kegagalan konsolidasi demokrasi, maka para wakil rakyat dan partai politik yang ada di parlemen harus berkomitmen memerangi korupsi dengan cara membatalkan revisi UU KPK,” sambungnya.

Artikel ini ditulis oleh: