Jakarta, Aktual.com — Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat merilis terkait perkembangan kondisi ekonomi secara nasional. Salah satu yang menjadi perhatian dari para ekonom dan peneliti adalah terjadinya deflasi pada bulan Februari tahun 2016 lalu. Kondisi ini dimungkinkan akan berefek pada melemahnya perekonominan nasional.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengungkapkan, terjadinya deflasi pada bulan Februari 2016, dimana BPS mencatat adanya deflasi sebesar 0,09% atau menurunnya harga barang secara umum merupakan indikasi adanya pelemahan ekonomi dari sisi permintaan.
“Indonesia masuk ke dalam transmisi deflasi global. Pelemahan ekonomi China dan harga minyak yang rendah berpengaruh langsung terhadap permintaan domestik,” kata Bhima kepada Aktual.com, Kamis (3/3).
Bhima membeberkan, deflasi pada bahan makanan sebesar 0,12%, merupakan yang tertinggi dari komponen lainnya. Listrik dan Transportasi juga masing-masing mengalami deflasi 0,11% dan 0,03%. Jika kondisi deflasi terjadi selama dua bulan berturut-turut dari Februari hingga Maret maka dapat membahayakan perekonomian.
“Indonesia dapat jatuh ke dalam deflasi berkepanjangan seperti Jepang jika tidak segera dilakukan stimulus di sektor riil,” bebernya.
Selain itu, deflasi juga dapat menurunkan target pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya dipatok 5,3% oleh Pemerintah. Lesunya permintaan merupakan sinyal malaise ekonomi akan terus berlangsung hingga akhir tahun.
Olehnya itu, pemerintah harus turun tangan mengatasi deflasi. Cara ampuh yang dapat ditempuh adalah menggerakan sektor riil, melalui realisasi proyek infrastruktur terutama di wilayah dengan permintaan yang rendah.
“Hal ini diharapkan mampu menaikkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya permintaan terhadap 6 barang penyebab deflasi akan meningkat,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan