Gunung Kidul, (08/4) Aktual.com – Sejumlah 24 perusahaan di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kolaps dan rumahkan serta PHK ratusan pekerjanya akibat pandemi COVID-19.
Kepala Bidang Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja Gunung Kidul Ahmad Ahsan di Gunung Kidul, Rabu (08/4), mengatakan berdasarkan laporan sampai saat ini, 199 karyawan alami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan 587 dirumahkan.
“Gelombang PHK dan pengurangan karyawan mulai terasa sejak COVID-19 mewabah di penjuru dunia, termasuk puluhan pabrik yang ada di Gunung Kidul terkena imbasnya. Sehingga perusahaan memilih merumahkan karyawan, dan bahkan PHK,” kata Ahmad.
Ia mengatakan di Gunung Kidul ada 24 perusahaan yang mengeluarkan keputusan PHK dan merumahkan. Mereka tidak mampu mempertahankan karyawan karena dari internal juga mengalami pengurangan kegiatan bahkan distop.
Kondisi sedang darurat dan berbagai belahan daerah merasakan hal serupa. Keberlangsungan dunia kerja dikembalikan ke perusahaan dan karyawan sesuai dengan kesepakatan. Misalnya, mengenai hak-hak karyawan.
“Itu tergantung kesepakatan antar pengusaha dan pekerja.Tergantung kesepakatan,” ucapnya.
Hal tersebut merujuk Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor M/3/HK04/III/2020 tentang perlindungan pekerja atau buruh dan keberlangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan COVID-19.
Dewan pengupahan sepakat untuk melaksanakan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaandan mengimbau kepada perusahaan untuk membuat kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
Kesepakatan itu sebagai antisipasi kejadian yang tidak terduga atau apabila perusahaan akan melakukan pembatasan kegiatan usaha yang mengakibatkan sebagian atau seluruh pekerjaannya tidak masuk kerja.
“Perubahan besaran maupun pembayaran harus memperhatikan azas kemanusiaan, termasuk sistem kerja harus ada kesepakatan bersama antara perusahaan dan karyawan,” katanya.
Sementara itu, Human Resources Development PT PT Woneel Midas Leathers (WML), Semin, Ngemaludin mengakui ada PHK dan karyawan dirumahkan sebagai akibat dari COVID-19. Kebijakan terpaksa dilakukan karena sejumlah pertimbangan.
“Barang produksi impor terganggu sehingga proses produksi juga terpengaruh, sementara ekspor negara tujuan 85 persen Amerika juga terkena wabah,” kata Ngemaludin.*
Antara
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin