Jakarta, Aktual.com — Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) melihat perlu ada aturan hukum yang dapat melindungi para pekerja jasa konstruksi. Apalagi setelah era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini, akan banyak pekerja asing yang membanjiri pasar tenaga kerja di Indonesia.
Untuk itu, UU Jasa Konstruksi harus segera diterbitkan untuk mengganti UU No 18 tahun 1999 yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Isu yang paling mendesak adalah perlunya ada sertifikasi pekerja di jasa konstruksi.
“Sertifikasi itu harus segera. Sehingga pekerja konstruksi kita bisa profesional. Mereka bisa punya keahlian masing-masing, bisa tukang batu, tukang kaca, tulang atap, dan lainnya. Jadi tidak serampangan,” tandas Ketua Kompartemen Organisasi Gapensi, Didi Iskandar Aulia, di Jakarta, Rabu (23/3) malam.
Dengan adanya sertifkasi itu, maka keahlian para pekerja itu dapat dipertanggungjawabkan dan bisa memiliki daya saing tinggi dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Namun agar bisa menyelenggarakan sertifikasi itu, perlu ada payung hukum. Beberapa hal yang diusulkan dalam RUU itu adalah, pertama, adanya penguatan kelembagaan asosiasi. Termasuk di dalamnya ada sertifikasi pekerja jasa konstruksi.
Kedua, kesempatan mengerjakan pekerjaan untuk proyek dari APBN atau APBD tidak boleh dikerjakan pihak asing. Dan ketiga, jika perusahaan asing masuk harus bekerja sama dengan perusahaan besar di Indonesia berupa joint venture.
“Sertifikasi ini bagian dari self protect terhadap pekerja dalan negeri, karena saat ini serbuan pekerja asing sangat banyak,” kata dia.
Secara teknis, lanjut Didi, nantinya mereka akan mendapat Surat Keterangam Terampil (SKT), misal SKT Tukang Batu. Sehingga mereka sudah teruji, dalam sejam berapa pasang batu, bagaimana presisinya, dan berapa persen komposisi semennya.
Dia memberi contoh, saat ini sudah banyak para pekerja asing dari salah satu negara di Asia Timur. Apalagi proyek tersebut hasil investasi mereka, maka semua pekerjanya dari mulai pekerja ahli sampai pekerja kuli dibawa dari negara tersebut.
“Karena modalnya dari sana, mereka juga membawa masuk pekerjanya. Bahakan untuk barang-barangnya seperti kabel, besi, semen, juga dibawa dari sana. Termasuk juru masaknya,” kecam dia.
Dengan kondisi itu membuat tidak ada lagi local content-nya. Kalau tidak diatur dalam UU akan lebih membahayakan lagi.
Kasus yang sudah terjadi, kata dia, di proyek PLTU di Bali yang banyak pekerjanya dari negara tersebut. “Termasuk yang terbaru untuk pembangunan smelter nikel di Sulawesi Tenggara, karena investornya dari sana, maka semua pekerjanya juga dari sana,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan