Jakarta, Aktual.com — KPK diminta tak berhenti pada tiga orang yang telah ditetapakan sebagai tersangka pada kasus dugaan suap pengesahan Raperda RZWP3K dan RTR Kawasan Strategis Pantura Jakarta.
Sebab, kata Koordinator 98 Indonesia Tolak Reklamasi Teluk Jakarta, Agung W Hadi, masalah megaproyek 17 pulau buatan itu tidak sekadar pengesahan dua payung hukumnya saja.
“Pengusutan harus dituntaskan sampai kepada pemberi izin reklamasi,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (2/4).
Adapun pihak yang mengeluarkan izin tersebut, kata aktivis ’98 itu, adalah Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
“Selaku gubernur, tentu memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin reklamasi,” jelasnya.
Agung menuntut demikian, lantaran Wakil Ketua KPK Laode Syarif sebelumnya mengakui, bahwa reklamasi di utara Jakarta tengah menuai polemik, baik dari masyarakat maupun peraturan perundang-undangan.
“Disebutkan juga, (kebijakan) ini tidak tidak sinkron dengan UU di atasnya. Sehingga, pemberian izin juga harus diusut,” tukasnya.
Sedikitnya tiga orang dari dua pihak telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus dugaan suap pengesahan dua raperda tentang reklamasi yang merupakan inisiatif Pemprov DKI.
Mereka adalah Bendahara DPD Gerindra DKI Mohamad Sanusi, Presdir PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja, dan pegawai PT APL Trinanda Prihantoro.
Kasus tersebut berhasil terbongkar dari operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar Kamis (31/3) malam, setelah adanya transaksi senilai Rp1,14 miliar.
Disisi lain, tak sampai dua bulan setelah ditetapkan sebagai Gubernur DKI, tepatnya 23 Desember 2014, Ahok untuk pertama kalinya menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi.
Izin tersebut dikeluarkan untuk PT Muara Wisesa Samudra (MWS), anak perusahaan APL, agar bisa melakukan pembangunan Pulau G (Pluit City) seluas 161 ha.
Pada 2015 silam, bekas politikus tiga partai itu kembali menerbitkan izin reklamasi untuk beberapa pengembang. Rinciannya, PT Jakarta Propertindo di Pulau F (190 ha).
Kemudian, PT Taman Harapan Indah (anak perusahaan Intiland) di Pulau H (63 ha), PT Jaladri Kartika Eka Pakci di Pulau I, dan PT Pembangunan Jaya Ancol di Pulau K (32 ha).
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby