Jakarta, Aktual.com — Country Director and Regional Representative IOSI, R. Rakyan Adibrata, mengatakan terorisme adalah masalah dunia yang tidak kunjung usai, masalah bangsa Indonesia yang telah menimbulkan korban tewas dan cacat lebih dari 1700 anak bangsa bila dihitung sejak bom kedutaan Filipina hingga sekarang.

Hal ini dikatakan Rakyan dalam FGD bertemakan ‘Membangun Prospek Strategi Nasional dalam Penanggulangan Terorisme melalui RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme’ oleh International Organization for Security and Intelligence (IOSI) bersama Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran) (PSPK Unpad), Kamis (26/5) lalu.

Menurutnya, Terlalu banyak putra putri bangsa tewas dan menjadi cacat karena aksi terorisme di negeri ini. Bom Bali I menjadi ‘wake up call’ kepada bangsa Indonesia untuk membuat legal framework dalam menanggulangi terorisme di Indonesia. Selama 13 tahun undang-undang anti teror telah dipergunakan oleh pemerintah dalam rangka menindak tegas para pelaku, namun terorisme masih jauh dari kata hilang.

“Undang-undang tersebut perlu banyak sekali perubahan dalam menyikapi perubahan wajah terorisme dewasa ini,” ucapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Sabtu (28/5).

Rakyan menambahkan, tujuan dari FGD ini untuk menyusun rekomendasi strategis berupa pointer-pointer masukan yang sebaiknya diprioritaskan oleh para anggota pansus.

Ketua pansus Revisi UU Terorisme, Romo H Raden Muhammad Syafi’i, turut menyampaikan pendapatnya dalam FGD.

“Kita menyepakati bahwa teroris merupakan adalah musuh besar negara Indonesia. Dalam RUU Perubahan UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme merancang untuk menindak dan mencegah,” ucap dia.

Ditambahkan, UU yang nantinya dibentuk diharapkan dapat menghabisi seluruh kelompok teroris, namun dengan mengedepankan konsep pencegahan. Dalam aplikasinya nanti, seluruh elemen masyarakat akan dikerahkan agar masyarakat tidak tertarik dengan kelompok kelompok terorisme.

Senada, anggota Komisi III DPR F-PKS, Nasir Djamil, menyampaikan bagaimana caranya menyeimbangkan antara menjaga keamanan dan mengedepankan HAM. Terorisme di indonesia ibarat Rahwana dalam pewayangan, yang apabila dibunuh akan hidup lagi, begitu seterusnya.

Sementara, Wakil Ketua dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi menyebut perlindungan untuk korban teror, dan juga perlindungan untuk aparat hukum yang sedang bertugas serta perlindungan yang lebih luas bagi terjaminnya hak-hak sipil warga negara Republik Indonesia adalah salah satu substansi yang amat krusial yang dibicarakan didalam FGD ini.

Berbicara terkait hak-hak sipil, sejumlah elemen masyarakat sipil turut hadir. Diantaranya, KontraS, Yayasan Prasasti Perdamaian, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menyoroti tentang bagaimana prospek rehabilitasi mantan teroris dan upaya untuk mengintegrasikan kembali kepada masyarakat.

Ketua PSPK Universitas Padjadjaran, Muradi, mengapresiasi FGD ini karena setiap elemen penegak hukum, pengampu kebijakan dan masyarakat, bergabung dan menyatukan irama untuk menyelesaikan permasalahan terorisme. Secara khusus Unpad turut bertanggungjawab atas terselenggaranya FGD ini dikarenakan memiliki Pusat Kajian yang fokus pada issue yang sama.

Artikel ini ditulis oleh: