Anggota DPR F Partai Gerindra H.R. Muhammad Syafi'i membacakan doa penutup sidang Paripurna penyerahan draf RAPBN 2017 kepada Ketua DPR Ade Komarudin, saat sidang paripurna DPR dengan agenda mendengar pidato presiden dalam rangka penyampaian keterangan pemerintah dan penyerahan draf RUU tentang APBN 2017 dan nota keuangan pemerintah di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8). Dalam kesempatan tersebut Presiden Joko Widodo menyerahkan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2017 beserta Nota Keuangan kepada Pimpinan DPR. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Dalam Rancangan APBN 2017 yang dibacakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini, pemerintah masih mengandalkan kebijakan efisiensi dengan melakukan pemangkasan anggaran di beberapa pos.

Langkah ini disebut Pusat Kajian Keuangan Negara (PKN) memang masih penting, mengingat potensi penyalahgunaan anggaran masih terjadi. Namun tetap saja skema efisiensi itu harus berdasar pada peta jalan (road map) yang jelas.

“Dalam skema efisiensi anggaran itu , PKN menyarankan agar pemerintah dapat menyiapkan road map yang lebih jelas. Karena efisiensi anggaran perlu didasarkan atas kebutuhan, seperti dikatakan Presiden Jokowi, money follow program,” jelas Direktur PKN, Prasetyo, di Jakarta, Kamis (18/8).

Untuk itu, kata, pemerintah perlu memilah dan memilih belanja mana yang tidak prioritas, belanja yang tidak perlu, dan belanja yang track off.

Bahakan untuk jangka panjang, lanjutnya, dapat mengevaluasi kembali belanja pegawai yang jumlahnya rata-rata mengalami kenaikan sebesar 14% setiap tahunnya. “Kira-kira setiap tahunnya sebanyak 26% dari total belanja pemerintah pusat,” ujar Pras.

Cara yang dapat ditempuh pemerintah, sebut dia, dapat menunjuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi untuk membuat database pegawai. Sehingga dapat menjadi acuan belanja pegawai dari sisi tunjangan.

“Sebab selama ini, tunjangan yang diberikan sering tidak searah dengan kinerja yang diharapkan,” ungkap dia.

Sementara itu, pos-pos yang rawan dipangkas atau minimal dievaluasi, menurut Pras, terkait tata kelola belanja bantuan sosial (bansos), yang disalurkan melalui kementerian/lembaga (K/L).

“Belanja bansos di K/L selama ini dinilai tidak efisien, bahkan cenderung rawan disalahgunakan,” tandas dia.

Diketahui, realisasi belanja bansos tahun 2014 sebesar Rp97,9 triliun yang tersebar di 17 K/L, tahun 2015 sebesar Rp97,1 triliun yang tersebar di 11 K/L dan untuk tahun 2016 ini sebesar Rp53,4 triliun. Memang, pilihannya hanya dua, dihapus atau dikelola oleh satu kementerian saja.

“Apalagi, berdasarkan Laporan BPK-RI dalam LKPP Tahun 2015 disebutkan tata kelola dana bansos selama ini meragukan dan tidak akuntabel,” jelasnya.

BPK, kata dia, menemukan banyak kesalahan klasifikasi, dana bansos masih mengendap di rekening penampungan K/L dan rekening pihak ketiga, penyaluran dan pertanggungjawaban realisasi belanja bansos tidak sesuai ketentuan.

“Serta masih banyaknya dana bansos yang tidak sesuai dengan penggunaannya,” cetus dia.

Namun demikian, kata Pras, ada alokasi belanja yang sebenarnya tidak perlu dikurangi adalah belanja non subsidi. Tapi sayanya juga terkena pemangkasan dari Rp83,4 triliun (APBN-P 2015) menjadi Rp82,7 triliun. Belanja non subsidi ini seperti subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, dan Public Service Obligation (PSO).

“Untuk akselerasi Nawacita sebaiknya dana itu jangan dipotong,” tegas dia.

Data belanja pemerintah diperkirakan mengalami penurunan sebesar 0,60% dibandingkan APBN-P 2016. Komponen belanja yang diturunan adalah belanja hibah, turun 74,15%, belanja utang luar negeri turun 8,63%, belanja subsidi turun 1,62%, dan belanja non K/L turun 1,23%.

“Belanja K/L dalam RAPBN 2017 itu direncanakan sebesar Rp758,4 triliun lebih rendah dibandingkan pagu APBN-P 2016 yang sebesar Rp767,8 triliun atau turun sebesar 1,24%,” pungkasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka