Jakarta, Aktual.com – Sikap Presiden Joko Widodo yang kabur saat jutaan umat muslim melakukan unjuk rasa membela Islam II di depan Istana Negara dan ingin bertemu dengannya, pada Jumat (4/11) lalu, Jokowi tak menghargai keyakinan umat muslim.
Sikap Jokowi ini, dalam perspektif interaksi sosial politik, menurut pengamat ekonomi politik senior Ichsanuddin Noorsy sangat disayangkan. Karena itu berarti Joko Widodo memang bukan representasi muslim.
“Dia sosok yang tidak menghargai keyakinan dan aspirasi muslim, tidak peduli pada penistaan Al Qur’an, tidak memahami perjalanan haji dan umrohnya, serta secara terbuka mengambil jarak psikologi dan sosial dengan muslim dan ajaran Islam,” ujar Ichsan dalam keterangan yang dikirim ke Aktual.com, Minggu (6/11).
Sehingga, dengan kaburnya Jokowi itu masyarakat jadi membandingkan respon Presiden terhadap persoalan Kodok, Warteg, pungli recehan dan pembakar masjid di Tolikara, atau sebagaimana dia suka blusukan dan tanggap, bahkan hingga masuk ke gorong-gorong.
“Tapi, kenapa ada dua juta lebih masyarakat Islam yang ingin menjumpainya, Presiden malah pergi dan mewakilkannya? Dalam perspektif sistem pemerintahan, mendelegasikan kewenangan tidak salah. Tapi salah besar dalam perspektif interaksi sosial politik itu,” papar dia.
Memang, kata dia, Jokowi adalah representasi bangsa Indonesia yang 15-17 persen bukan muslim dan Indonesia bukan negara agama sepenuhnya. Namun demikian, jika pemegang kekuasaan dan penegak hukum bersikap arif bijaksana, sepatutnya dan sepantasnya rasa keadilan masyarakat mewujud dalam sikap politik kekuasaan itu.
Padahal, kata dia, diterima atau tidak, penolakan dari Presiden berakibat Jokowi mempermalukan diri dan keluarganya. Walau itu tidak dirasakan, menurunkan bobot wibawanya sebagai Presiden, dan hilangnya penghargaan dan penghormatan masyarakat terhadap lembaga kepresidenan dan pribadinya telah terjadi.
“Mestinya, Jokowi ingat bagaimana Presiden SBY dan Wapres Boediono ditolak hadir di berbagai kampus akibat kasus Bank Century. Walau mengakhiri jabatan sesuai dengan agenda ketatanegaraan, namun penolakan itu sendiri sudah bermuatan penghinaan terselubung. Itulah risiko demokrasi liberal,” beber Ichsan.
Makanya, pada demonstrasi 4 November 2016 itu, orang kemudian berpendapat bahwa Jokowi adalah Presiden pertama di dunia yang lari saat rakyat berniat baik menjumpainya.
Artinya, umat Islam yang sudah diperangkap dengan demokrasi liberal masih mematuhi suatu sistem sosial politik berbasis kebebasan individu. Dalam kepatuhan itu, tuntutan kelayakan dan kepantasan mereka ditolak.
Kalangan pembela Joko Widodo pasti berdalih, sistem sudah berjalan. Wapres dan sejumlah menteri sudah mewakili Presiden Jokowi.
“Tapi masyarakat merespon, rupanya Presiden tak mampu buat skala prioritas. Memeriksa fisik pekerjaan yang bisa diwakilkan dan pantas dilaksanakan menurut sistem organisasi modern, ternyata “jauh lebih penting” dari pada menghargai dan menghormati masyarakat yang mayoritas beragama Islam,” cetusnya.
Semua itu, kata dia, hanya kilah berkilah untuk membela posisi dirinya. Makanya, ia pun mencoba menelusuri kenapa Ahok demikian berarti baik bagi Jokowi maupun bagi Parpol pendukung dan pengusungnya.
“Ahok pernah menyatakan, Jokowi jadi Presiden berkat dukungan pengembang (developer). Pernyataan ini mengejutkan karena memberi makna bahwa Ahok mengerti mengenai transaksi ini, jika memakai kacamata teori pertukaran tersebut,” tandasnya.
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby