Dua Pilot uji, Esther Gayatri Saleh (kanan) dan Ahmad Ervan (kiri) menaiki pesawat N219 usai acara Syukuran Pencapaian Tahap Validasi Rekayasa Rancang Bangun Struktur N219 di hanggar PT Dirgantara Indonesia (DI), Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/11). Pesawat N219 yang berkapasitas 19 penumpang tersebut telah selesai dikembangkan oleh PT DI kerjasama dengan LAPAN dan siap diresmikan oleh Presiden Joko Widodo yang direncanakan terbang perdana pada tahun 2016. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/nz/15

Jakarta, Aktual.com – Dewan Penasehat National Air Space and Power Center of Indonesia (NASPCI), Connie Rahakundini mengatakan bahwa PT Dirgantara Indonesia (PT DI) harus mempertimbangkan kontraknya dengan perusahaan Airbus. Bahkan lebih jauh, PT DI bisa saja memutuskan kontrak dengan Airbus karena kerja sama di antara keduanya selama hampir setengah abad tidak menghasilkan apa-apa untuk kemajuan industri pertahanan Indonesia.

“PT Dirgantara Indonesia (DI) harus memutuskan kontrak dengan yang sudah 40 tahun dengan Airbus. Kontrak yang tidak jelas dan tidak menghasilkan apa-apa. Kita bandingkan dengan China sudah bisa menghasilkan helikopter Z8 sekelas AW 101 dan kelas AW 139,” ungkap Connie di Jakarta , Minggu (19/2).

Connie yang juga pengamat militer ini menilai, tiadanya transfer teknologi dalam kerja sama antara PT DI dengan Airbus membuat industri dirgantara Indonesia menjadi tidak berkembang dan tidak memiliki kemandirian teknologi. Ia sendiri mengklaim bahwa PT DI hanya mendapat bagian pengecatan helikopter saja, alih-alih mengembangkan helikopter sendiri.

“Sebuah produsen senjata itu membuat design dia bisa, membuat sparepart bisa dan lain-lainnya. PTDI kalau cuma bisa mengecat itu bukan membuat heli,” kata Connie.

Dengan yakin, Connie mengajak untuk mendatangi dan melihat apa benar selama ini PT DI bisa membuat helikopter. Dia menilai selama ini ada kebohongan publik yang dilakukan oleh PTDI.

“Sekarang kita bangkit. Kita lihat ramai-ramai benar nggak PTDI bisa bikin heli? Buktikan apa yang saya omong dan saya yakin nggak bisa bikin (heli). Anda kalau nggak percaya nanti saya kasih kontak orang-orang PTDI. Di mana insinyur itu mendekat pesawat aja nggak boleh. Yang boleh cuma tukang cat sama tukang ketok itu anak-anak STM. Jadi tidak ada alih teknologi,” tuturnya.

Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Teuku Wildan
Editor: Arbie Marwan