Jakarta, Aktual.com – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI diminta untuk mengoreksi putusannya yang meloloskan enam bacaleg yang diketahui pernah menjadi narapidana koruptor.
Desakan ini dilontarkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Bersih di kantor Bawaslu, Jakarta, Jumat (31/8).
Lolosnya enam bacaleg itu diputus oleh Panwaslu tingkat daerah. Sebelumnya mereka berstatus Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam pencalegan.
Perwakilan koalisi, Hadar Nafis Gumay menilai keliru putusan sengketa yang dilakukan Bawaslu tingkat daerah tersebut.
“Ini sesuatu yang keliru, sesuatu yang justru malah merusak kualitas pemilu kita. Untuk itu kita mendesak Bawaslu untuk melakukan koreksi atas putusan-putusan ini,” ujar Hadar.
Kekeliruan yang dimaksud Hadar ialah Panwaslu tidak merujuk pada PKPU nomor 14 tahun 2018 dan PKPU nomor 20 tahun 2018 dalam memutus sengketa yang diajukan lima bekas koruptor tersebut.
“Nah itulah sebetulnya pedoman pelaksanaan pemilu kita,” tegasnya.
Yang harus diawasi itu, sambung Hadar, adalah kesesuaian pelaksanaan pemilu dengan dua PKPU diatas. Bawaslu bukan menginterpretasikan kesesuaian PKPU dengan Undang-Undang.
Menurutnya, dua PKPU tersebut masih berlaku. Sedangkan bila ada pembatalan peraturan, itu adalah otoritas MA bukan otoritas Bawaslu.
“Jadi ini semua menunjukan pertunjukan kekacauan diantara penyelenggara pemilu kita,” pungkasnya.
Adapun bekas koruptor yang diloloskan Bawaslu adalah Joni Kornelius Tondok di Tana Toraja (bacaleg DPRD), Syahrial Damapolii di Sulawesi Utara (bacaleg DPRD), Abdullah Puteh dari Aceh (calon anggota DPD RI), Ramadan Umasangaji di Kota Pare Pare (bacaleg DPRD), bacaleg dari Bulukumba dan M Nur Hasan di Rembang (bacaleg DPRD).
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan