Jakarta, Aktual.co — Beberapa hari terakhir, fenomena politik tandingan berhembus di kalangan masyarakat kita. Fenomena tandingan ini tampaknya menarik dicermati karena tak hanya terjadi pada ormas dan partai politik, melainkan telah merambah pada lembaga-lembaga negara. Sudah ada pimpinan dewan tandingan, Gubernur tandingan, dan kita tak ingin nantinya akan ada tandingan-tandingan lain pada lembaga negara kita, apalagi sampai ada Presiden tandingan.

Dalam konteks demokrasi, adanya tandingan-tandingan seperti itu, bisa jadi sebuah dinamika. Tajamnya perbedaan yang mengkristal yang sulit dipertemukan sehingga ‘terpaksa’ membentuk tandingan. Jika hal itu hanya terjadi pada ormas, termasuk partai politik, kita masih bisa pahami karena jika mereka tak bisa melakukan rekonsiliasi, maka konsekwensi yang bakal muncul adalah salah satu diantaranya bakal dieliminir, baik disebabkan pengakuan pemerintah (UU) atau pun masyarakat.

Bisa jadi yang diakui pemerintah, ternyata tak sepaham dengan masyarakat, seperti halnya PDI Soerjadi vs PDI pro Mega. Pada era orde baru, pemerintah mengakui PDI Soerjadi, namun yang “diakui” masyarakat justru PDI pro Mega yang sekarang menjadi PDIP.

Namun ketika tandingan-tandingan tersebut telah merambah pada lembaga negara, hal ini tak bisa lagi diklasifikasikan sebagai sebuah dinamika berdemokrasi. Bisa dibayangkan, jika kita tak setuju dengan presiden terpilih, lantas kita menunjuk presiden tandingan. Dalam praktek penyelenggaraan negara tentu hal ini sangat berbahaya.

Ini bisa saja diklasifikasikan sebagai tindakan makar karena  melawan hukum, sebab dengan menunjuk tandingan sama artinya tidak ada pengakuan terhadap pejabat yang sah sesuai aturan perundang-undangan.

Pemerintah yang sah harus tegas menindak perbuatan hukum tersebut. Jika tindakan tegas itu tak dilakukan, pemerintah dan lembaga terkait akan terus terombang-ambing oleh perilaku inskonstitusional yang ujungnya hilangnya kewibawaan pemerintahan yang sah.

Beda halnya dengan ormas dan partai politik, selain ditentukan oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (aspek juridis), ‘pasar’ juga sangat menentukan. ‘Pasar’ di sini adalah masyarakat itu sendiri. Jika secara juridis mendapat pengakuan, namun masyarakatnya. “tak mengakui”, maka dengan sendirinya ormas/partai politik tersebut akan lebur dengan sendirinya.

Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjhaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur baru pengganti Jokowi pun menuai banyak reaksi dari berbagai pihak dari mulai ormas, FPI dan ormas-ormas lain dengan berbagai asumsi,maka karena alasan itu lah mereka pun menggagas untuk mengangkat gubernur tandingan sebagai wujud protes bahwa dengan jelas dan lantang mereka menolak Ahok sebagai Guberenur baru, lagi-lagi pemimpin tandingan.

Kemudian dari kubu partai golkar tentang ada nya Munas tandingan alasan nya pun sama sebagai wujud protes, jika kita telaah jelas ini bukan perilaku yang baik yang patut dicontoh sebagai petinggi dan juga kata nya wakil rakyat,menuai perpecahan dari satu kubu ke kubu yang lain,mengecam. Bahkan, menolak dengan cara yang tidak pantas di lakukan sebagai warga negara indonesia,terima lah dengan lapang dada.

Menjadikan politik sebagai jalan untuk melayani rakyat. Melainkan yang ada dan dominan nampak di permukaan adalah atas nama tujuan melayani rakyat sebagai jalan memperoleh kekuasaan untuk kepentingan kelompok. Sistem koalisi antar parpol yang dibangun baik KIH maupun KMP dipenuhi dengan semangat dan syahwat politik kekuasaan.

Benar adanya sebuah statement yang dilontarkan oleh seorang pakar hukum tata Negara-yang namanya tidak mau disebutkan-bahwa para politisi itu jika sudah masuk ke gelanggang legislatif DPR maka baju parpolnya akan dilepas semua diganti dengan baju kepentingan komisi proyek. Sementara kepentingan politik koalisi parpol pemenang Pilpres akan mendominasi seluruh struktur kabinet meski mau disebut dengan nama apapun. Apakah kabinet Indonesia hebat. Kabinet profesional. Ataupun kabinet kerja, kerja dan kerja.

Secara sederhana yang nampak sekarang adalah KMP mendominasi rekayasa politik DPR. Dan KIH mendominasi rekayasa politik Kabinet. Seberapa jauh rekayasa politik antar koalisi itu didedikasikan untuk kepentingan rakyat. Sangat tergantung pada basis ideologi negara apa yang dipakai acuan. Sistem politik dan sistem ekonomi apa sebagai pilar penting penentu kebijakan negara yang diterapkan di atas basis ideologi negara.

Sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis liberalis adalah sistem yang dibangun di atas bangunan ideologi negara kapitalis sekuler. Indonesia secara faktual dalam banyak kebijakan negara mengadopsi sistem ini. Perdebatan politik oleh para politisi maupun pengambil kebijakan negara kemudian hanyalah di seputar persoalan siapa memperoleh apa dengan cara apa.

Bukan bagaimana seharusnya kebijakan negara diterapkan sesuai dengan aturan dari Yang Maha Kuasa untuk kemaslahatan manusia. Dalam kondisi seperti itu maka proses politik baik di tubuh parlemen maupun kabinet niscaya akan sarat dengan kepentingan politik para politisi, penguasa dan pemilik modal yang memback upnya. Sampai kapan kondisi ini terus berjalan.

Sampai bangsa ini sadar tentang pentingnya pergolakan (revolusi) bukan saja sebuah revolusi mental an sich. Melainkan pergolakan (revolusi) komprehensif mencakup pergolakan pemikiran, politik dan pergolakan militer sebagai mekanisme perubahan masyarakat sepanjang sejarah. Dan perubahan masyarakat yang dicontohkan oleh Rasullullah SAW tidak bisa dipisahkan dengan substansi ajaran Islam mencakup syariah, dakwah, aqidah, jihad dan khilafah.

Alergi terhadap pergolakan (revolusi) hanya akan membuat kejumudan gerakan. Atau penumpulan gerakan dari sebuah entitas dakwah yang berpotensi menjadi pressure group menjadi sebuah entitas intelektual yang berkembang dari wacana ke wacana. Dari panggung ke panggung. Dari forum ke forum.

Atau kalaupun turun ke jalan, pengambil kebijakan pun tahu bahwa kerangkanya dalam bingkai seruan/himbauan mental dan intelektual. Tidak lebih dari itu. Ingatlah Firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla :

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59). Wallahu A’lam Bis Showab.

Artikel ini ditulis oleh: