Jakarta, Aktual.co — Pemerintah melalui Kementerian BUMN mendorong agar PT Pertamina (Persero) segera menerbitkan obligasi rupiah di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan maksud supaya BUMN itu dapat lebih transparan.
Semangat yang mengarah pada privatisasi perusahaan plat merah ini sebenarnya sudah terjadi sejak 15 tahun silam. Yakni sejak adanya Letter Of Intent (LOI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF, 20 Januari 2000 silam.
“Kita bicara sebetulnya 15 tahun yang lalu, di mana terlihat jelas bahwa Pertamina itu prosesnya mengarah pada privatisasi dengan adanya konsep unbundling Pertamina,” ungkap Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI), Faizal Yusra, dalam diskusi ‘Pertamina Dibawah Ancaman Privatisasi dan Utang Luar Negeri’ di Jakarta, Minggu (7/12).
Menurutnya, asing sejak lama menginginkan Pertamina. Dan, hal itu dipertegas secara terang-benderang dengan adanya LOI dengan IMF. Ia menyinggung bagaimana Pertamina sempat pecah menjadi Pertamina EP dan Pertamina Hulu Energy. Namun setelah diperjuangkan keduanya menyatu kembali.
“Jadi di mana Pertamina yang hanya menguasai 15 persen Migas di Indonesia mau dipecah-pecah, sementara dalam dunia bisnis migas internasional itu ada satu istilah yang menyebut bahwa ‘Big is Beautiful’, berbanding terbalik dengan yang dilakukan pada Pertamina yang justru malah dikecilkan,” kata Faizal.
Ia menambahkan bagaimana pula Exxon dan Mobile yang merupakan perusahaan migas besar digabung menjadi Exxon Mobile. Begitu halnya Conoco dan Philips menjadi Conoco Philips supaya menjadi perusahaan yang lebih besar.
“Karena memang perusahaan migas itu makin besar makin bagus. Berbanding terbalik sekali dengan Pertamina yang justru dipecah dan dibiarkan agar tidak bisa menjadi perusahaan besar,” katanya.
Secara ketahanan nasional, lanjut dia, Indonesia jelas amat sangat ‘ringkih’. Mengalahkan Indonesia tidak perlu dengan pesawat tempur, negara oil company yang tergabung dalam ‘Seven Sister’, namun cukup dengan menghentikan operasi kilangnya di Indonesia. Maka tidak sampai dalam tiga jam ‘berantakan’ negeri ini.
“Dari kebutuhan kita yang sebesar 1,6 juta barel per hari, kita hanya mampu produksi 800 ribu barel, sisanya kita harus import dari luar negeri. Mungkin cukup telepon hentikan operasi Chevron, Total dan Exxon Mobile. Embargo. Habis sudah,” imbuh Faizal.
“Jadi tidak ada kata lain selain menghentikan privatisasi yang telah melemahkan kita dari kedaulatan energi,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:

















