Aktual.co — Salary atau upah para pekerja media di Indonesia masih di bawah rata-rata atau boleh dikatakan sangat rendah, dibandingkan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai alat sosial kontrol masyarakat.
Standar upah minimum kota (UMK) dan upah minimum provinsi (UMP) sering menjadi acuan perusahaan media sebagai patokan untuk menggaji pewarta. UMP ditetapkan berdasarkan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) seperti, kebutuhan sandang, pangan dan papan yang disurvei oleh dewan pengupahan masing-masing provinsi.
Dalam komponen KHL, laptop, handphone, kamera, biaya internet, biaya sewa rumah, rekreasi dan sebagainya, tidak menjadi salah satu kebutuhan pokok untuk para pekerja. Namun, bagi jurnalis, laptop serta peralatan pendukung reporter yang disebutkan sebelumnya, bukan barang mewah, melainkan kebutuhan riil jurnalis untuk menunjang kinerja di lapangan, yang dituntut untuk lebih cepat dalam menyajikan informasi.
Fase pekerjaan yang cepat dan dikejar waktu deadline kerap membuat para jurnalis menghadapi stres tingkat tinggi. Maka dari itu, kebutuhan terhadap rekreasi atau hiburan sangat penting.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Umar Idris mengatakan, rata-rata upah jurnalis di Jakarta saat ini masih jauh di bawah standar upah layak. Dari 55 media di Jakarta yang disurvei, sebagian besar menggaji wartawan yang baru setahun bekerja sekitar Rp3 juta per bulan. Bahkan, ada dua media online yang menggaji jurnalisnya Rp 1,8 juta dan Rp 1,7 juta setiap bulan, di bawah upah minimum provinsi DKI yang besarnya Rp 2,2 juta, demikian seperti dikutip dari Tempo.
Padahal AJI Jakarta menetapkan standar upah layak untuk jurnalis pemula di Jakarta pada tahun 2014, sebesar Rp5,7 juta per bulan. Umar kembali menuturkan, bahwa angka upah layak itu dihitung berdasarkan 39 komponen yang menyangkut kebutuhan hidup layak bagi seorang reporter pemula di Jakarta.
Tetapi fakta yang didapat adalah rata-rata jurnalis yang baru diangkat menjadi karyawan tetap digaji seputar Rp.1.700.000 – Rp2.200.000. Dan, di luar Jakarta seperti daerah Palu, Semarang dan Medan, pewarta digaji hanya sebesar Rp500.000 – Rp.700.000. Seharusnya jurnalis untuk entry level position bisa memperoleh gaji layak sebesar Rp. 2.700.000 – Rp. 3.500.000. Hanya ada 4 perusahaan media di tanah air yang memberikan upah standar di atas standar gaji minimum jurnalis.
Umar menjelaskan, komponen yang dipakai AJI dalam menetapkan upah layak wartawan disesuaikan dengan kondisi riil yang ada di lapangan. Selain mengurangi komponen yang ditetapkan oleh pemerintah, AJI menggunakan komponen baru untuk seorang jurnalis, di antaranya kebutuhan mencicil laptop, biaya penggunaan Internet, dan sewa kos.
Dengan kondisi pengupahan yang kurang seperti saat ini, sering kita lihat adanya praktek suap jurnalis atau yang lebih dikenal dengan pemberian ”amplop” kepada wartawan bersangkutan. Bentuk pemberian ”amplop” ini berbeda-beda, ada dalam bentuk uang atau biaya transportasi, barang berupa doorprize seperti alat-alat kebutuhan rumah tangga, fasilitas, hiburan, dan service di luar acara.
Menurut Nezar Patria, ketua Dewan Pers dan mantan ketua AJI Indonesia periode 2008-2011 ini, upah yang layak dapat membangun pers yang berkualitas di Indonesia. Tanpa jaminan mendapat gaji yang layak, jurnalis rentan mengabaikan kode etik jurnalistik dan terjebak pada praktek suap atau sogok yang mengikis indepedensi mereka dalam membuat produk jurnalistik yang berkualitas.
Akibatnya publik akan mendapat informasi yang bias kepentingan dan manipulatif. AJI Jakarta mendorong perusahaan media dan organisasi perusahaan media, cetak, online, dan elektronik untuk menjadikan upah layak ini sebagai acuan dalam memberikan gaji minimal kepada reporter pemula. Upah layak ini juga untuk meningkatkan profesionalitas jurnalis dalam melaksanakan tugasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
















