Jakarta, Aktual.co — Tak hanya menyetorkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengaku bakal menindaklanjuti persoalan Tenaga Kerja Indonesia bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Yang pertama berkaitan dengan tindak lanjut kajian KPK dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan tentang TKI,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi di gedung KPK Jakarta, Senin (24/11).
Deputi Bidang Pencegahan itu juga mengatakan, selain membicarakan soal pengawasan, ada pembicaraan lain berkaitan dengan jumlah pelayanan publik yang diharapkan Kemenaker.
“Tadi bicara soal itu juga, tadi Pak Hanif menyampaikan akan lebih mengefisienkan tata cara pengurusan dokumen-dokumen baik TKI maupun TKA (Tenaga Kerja Asing).”
Pembicaraan lain adalah seputar reformasi tata kelola ketenagakerjaan, termasuk perbaikan tata kelola penempatan tenaga kerja luar negeri.
Sedangkan Hanif mengaku, saat ini pihaknya berusaha untuk mengoptimalisasi kerja lembaga yang mengurus masalah ketenagakerjaan termasuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang sempat diwacanakan untuk dibubarkan.
“Soal BNP2TKI itu kan Undang-undang, jadi kita hanya menjalankan perintah UU. Kalau di UU-nya ada, ya harus ada, tapi yang terpenting mengkoordinasikan seluruh kinerja kelembagaan dan instansi yang terkait dengan masalah TKI. Kalau koordinasinya bagus, saya kira hasilnya akan optimal,” ungkap Hanif.
Koordinasi tersebut menurut Hanif menjadikan pengelolaan data TKI dapat maksimal. “Yang lebih penting lagi, kalau misalnya seluruh pengelolaan data dari penempatan TKI itu bisa dikonsolidasikan, baik yang daerah dan di pusat dan seluruh instansi yang terkait. Saya optimistis bahwa tata kelola TKI di luar negeri ke depannya akan secara bertahap kita perbaiki,” tambah Hanif.
Sejak 2006, KPK telah membuat kajian tentang sistem penempatan TKI yang telah disampaikan pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI. Hasil kajian itu mengungkapkan bahwa pelayanan kepulangan TKI hanyalah salah satu tahapan dalam proses penempatan TKI.
KPK juga menemukan bahwa di Terminal III Soetta (terminal khusus TKI hingga 2007) terdapat kelemahan yang berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi, seperti rendahnya kurs valas dari market rate di penukaran uang yang merugikan TKI, mahalnya tarif angkutan darat yang disediakan Kemenakertrans, tidak jelasnya waktu tunggu sejak membeli tiket sampai dengan berangkat, hingga banyaknya praktik pemerasan, penipuan dan berbagai perlakuan buruk lainnya.
Berdasarkan hasil pemantauan yang telah dilakukan secara intens oleh KPK sebelum pelaksanaan sidak, ditemukan sejumlah persoalan, yaitu indikasi keterlibatan aparat bersama-sama dengan oknum BNP2TKI, porter, cleaning service, dan petugas bandara dalam mengarahkan TKI kepada calo/preman untuk proses kepulangan; paksaan untuk menggunakan jasa penukaran uang dengan nilai yang lebih rendah; serta pemerasan oleh calo dan preman kepada TKI dan penjemputnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu