Jakarta, Aktual.co —Sebuah kebijakan pemerintah disamping menimbulkan gejala sosial dan politik yang sering dikaji aktifis pro rakyat, ada hal lain yang menarik untuk dijadikan wacana diskusi. Khususnya oleh aktifis gerakan mahasiswa sebagai subjek daripada demontrasi-demonstrasi yang marak berlangsung ketika kebijakan tidak pro rakyat diterbitkan pemerintah. Tengoklah contoh demonstrasi yang berkaitan dengan isu BBM hampir dua pekan ini.
Adalah citra buruk gerakan mahasiswa dalam kaitannya dengan anarkisme saat demonsrasi berlangsung. Antipati publik terhadap demonstrasi berdengung tak hanya di kalangan masyarakat saja tapi juga dalam internal aktifis gerakan mahasiswa itu sendiri. sampai pada perdebatan-perdebatan yang menyoal relavansi demontrasi dengan keadaan zaman.
Untuk membahas wacana tersebut sangat arif apabila kita melihat kembali apa fungsi gerakan mahasiswa. Gerakan Mahasiswa yang menurut Hariman Siregar sebagai pilar ke-5 Demokrasi memiliki fungsi sebagai social control dan pressure group. Dengan fungsi dan aktifitas gerakan mahasiswa di Indonesia pada umunya, maka dapat pula dikategorikan sebagai gerakan sosial menurut Mc Adam & Snow.
Menurut mereka gerakan sosial memiliki karakteristik salah satunya adalah aksi-aksi kolektif. Yang mana dalam hal ini berkaitan dengan proses mobilisasi massa di luar mekanisme politik formal seperti petisi, demonstrasi, long-march, aksi duduk, boikot dan lain-lainnya. Sehingga sangat jelas bahwa dalam logika psikologi sosial demonstrasi merupakan bagian dari aktifitas gerakan mahasiswa sebgaimana fungsi gerakan mahasiswa itu sendiri.
Demontrasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal, baik protes itu ditujukan kepada seseorang maupun kelompok atau pemerintahan. Demonstrasi bertujuan menekan kelompok tertentu dalam upaya terwujudnya sebuah perubahan. Banyak mayarakat awam dan mahasiswa non aktifis serta aktifis internal gerakan mahasiswa meragukan aktifitas demontrasi sebagai upaya efektif untuk menggenjot terjadinya perubahan.
Semua menilai demonstrasi tak dapat memberi hasil maksimal karena yang diandalkan hanya eksistensi massa tanpa solusi riil atas permasalahan yang sedang terjadi. Penulis berpendapat bahwa solusi daripada permasalahan memang bukanlah domain daripada gerakan mahasiswa sebagaimana fungsinya yang telah tertuang di muka. Sungguh disayangkan keberadaan para ahli di pemerintahan dan akademisi-akademisi di Universitas. Merakalah yang mempunyai domain untuk memberi solusi riil atas permaslaahan yang terjadi.
Masing-masing memiliki peran dalam situasi yang terjadi tapi bukan berarti demonstrasi adalah satu-satunya cara yang digunakan gerakan mahasiswa. Sebagai calon akademisi, Ilmuwan dan pemimpin masa depan atau lebih populer dikenal Leader of change, individu-individu mahasiwa pun memiliki tanggung jawab intelektual. Sehingga gerakan mahasiswa mesti melakukan gerakan intelektual berupa tulisan opini para kadernya yang disebar ke media msassa. Ini merupakan tanggung jawab individu mahasiswa sesuai kompetensinya, gerakan mahasiswa hanya bertanggungjawab memobilisasi gerakan intelektual tersebut.
Terjawablah bahwa demonstrasi bukan lagi kuat relevasinya dengan perubahan, lebih dari itu demonstrasi adalah suatu keniscayaan. Mengulang pertanyaan diatas tentang relenvasi demontrasi dan zaman, maka saat ini gerakan demonstrasi perlu dikombinasikan dengan gerakan intelektual mahasiswa. Bagaimana dengan citra buruk demonstrasi yang sudah mewabah di kalangan masyarakat. Perlu diketahui bahwa sebenarnya fenomena ini sudah terjadi sejak lama sebelum menyeruaknya demontrasi-demonstrasi anarkis terkait isu BBM. Dalam problem ini penulis memandang kurangnya pemahaman para demonstran mengenai jati diri mahasiswa dan manajemen aksi massa/kolektif.
Pertama, mahasiswa sebagai bentuk metamorfosis siswa adalah insan intelektual, yang tidak lagi menggunakan cara pandang dan bertindak siswa. Sebagai kaum terdidik, mahasiswa seharusnya sadar akan akibat demonstrasi anrkis yang dilakukan. Bukan saja pada dirinya sendiri ataupun golongannya. Tapi tak terciptanya sebuah perubahan yang diinginkan. Ruh moral dan intelektual adalah kekhasan yang tidak boleh dihilangkan. Indikator ini akan memperlihatkan apakah mereka pantas disebut mahasiswa atau masih siswa. Kedua, manajemen aksi massa, adalah suplemen dasar yang biasa diberikan dalam diklat-diklat gerakan mahasiswa. Tapi kebanyakan penulis melihat suplemen yang diberikan sebatas teknis demonstrasi, tidak sampai pada tataran teoritisasi sebuah aksi kolektif.
Menurut Gene Sharp-yang dijuluki Machiavelli nir-kekerasan- dalam bukunya Politic Nonviolent Action mencatat ada 198 metode aksi nir-kekerasan (tanpa kekerasan) yang berhasil dihimpun dari sejarah gerakan politik dari berbagai belahan dunia. Artinya demonstrasi tanpa kekerasan bukanlah tanpa hasil.
Apa peran Bidang Humas dalam sebuah organisasi apabila tidak dapat menggiring media ke arah gerakannya. Disinilah titik kritis yang harus diperbaiki setiap gerakan mahasiswa dalam manajemen organisasi. Sebuah konklusi akhir yang dapat disampaikan adalah apabila kita telah mempelajari dalam sekup metode dan tahap-tahapnya, maka aksi kekerasan dan anarkis akan disadari sebagai upaya terakhir dalam demonstrasi. Tentunya telah disusun dalam perencanaan yang matang. Itulah yang termasuk dalam strategi demonstrasi.
Melihat keadaan ini, reformasi gerakan mahasiswa mutlak dilakukan selain dalam upaya rekonsilisasi gerakan dengan masyarakat -yang ditekankan tak hanya sekedar citra- juga dalam internal gerakan mahasiswa. Karena gerakan mahasiswa adalah gerakan sosial yang memiliki tujuan dan berorientasi pada perubahan.
Oleh: Eko Wardaya
Presidium KAMMI Nasional
Artikel ini ditulis oleh: