Jakarta, Aktual.co — Parlemen Indonesia menghadiri Asian Inter-Parliementary Caucus on Labour Migration di Khatmandu, Nepal yang diadakan oleh Migrant Forum in Asia (MFA). Perwakilan Indonesia diwakili oleh anggota DPR dari FPDIP Rieke Diah Pitaloka dan Nihayatul Wafiroh dari FPKB. Dalam forum tersebut disepakati bahwa Persoalan Buruh Migran menjadi isu yang tak boleh lagi dipandang sebelah mata.
“Indonesia dikenal sebagai salah satu pengirim buruh migran, yang biasa disebut dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Hanya sayang, cap yang melekat bagi buruh migran kita mayoritas bekerja di wilayah 3D (Dirty, Dangerous and Difficult),” ujar Rieke dalam siaran pers yang diterima redaksi, Senin (10/11).
Rieke yang merupakan “advisor commitee” di MFA menjelaskan, pertemuan di Katmandu dihadiri oleh beberapa anggota parlemen, perwakilan dari serikat pekerja dan aktivis buruh migran dari Nepal, Kamboja, Pakistan, Malaysia, China, Myanmar, India, Singapura, Filipina, dan dari Indonesia.
Pertemuan antar anggota parlemen di Asia, tentu menjadi penting, apalagi menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN plus enam negara (India, Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia dan New Zaeland). Ketika lalu lintas modal, barang dan jasa terjadi tanpa sekat yang berarti, di saat yang sama migrasi manusia pun terjadi dari satu negara ke negara lain. 
“Indonesia bisa dipastikan tak hanya menjadi negara pengirim, namun pasti menjadi negara penerima buruh migran. Kita tak bisa lari dari cengkraman pasar bebas, tapi kita harus pula mendorong situasi yang berkeadilan. “Fair trade, not free trade”, karenanya proteksi terhadap buruh migran kita menjadi pekerjaan serius,” papar Rieke.
Implementasi dan pengawasan dari semua aturan yang ada menjadi bagian yang tak terpisahkan. Indonesia tidak bisa sendiri, sudah semestinya ada perjuangan bersama negara di Asia, khususnya ASEAN. 
Dalam pertemuan di Kathmandu, menghasilkan rekomendasi yang menyetujui Trilayak Pekerja (Kerja Layak, Upah Layak dan Hidup Layak) menjadi konsensus, komitmen dan spirit bersama bagi buruh migran yang disebut dengan “The Triple Win For Migrant Workers: Decent Work, Decent Wages, Decent Life”. Tiga hal tersebut diwujudkan dalam perjuangan:
1. Menciptakan mekanisme dan perjanjian regional untuk memperkuat kolaborasi antar pemerintah dalam isu buruh migran2. Mendorong pemahaman  tentang isu perdagangan manusia dalam konvensi South Asia Association Regional Cooperation (SAARC) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak dalam Prostitusi (2002), untuk menjadi bagian dari isu perdagangan pekerja antar negara3. Mendorong mekanisme yang legal dan aturan, serta reformasi dari industri penempatan buruh migran.4. Menempatkan sumberdaya pemerintahan yang cukup untuk peningkatan kinerja di negara tujuan agar mampu mengoptimalkan program perlindungan dan pelayanan terhadap buruh migran5. Menyepakati adanya standar kontrak untuk PRT migran6. Mendorong transparansi dalam Perjanjian Bilateral, MoU, dan dokumen terkait7. Mendorong perlindungan terhadap buruh migran menjadi isu penting dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN8. Perlindungan terhadap pekerja menjadi tanggungjawab semua pihak terkait9. Melibatkan masyarakat sipil dan serikat pekerja dalam agenda SAARC yang akan datang