Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatiningtyas berbincang-bincang dengan pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sitras Anjilin.
Ratusan orang berasal dari berbagai desa di kawasan Gunung Merapi sudah berdatangan pada Kamis (6/11) malam, memadati pendopo padepokan seni budaya yang dibangun pada 1937 oleh tokoh spiritual, Romo Yoso Sudarmo (1885-1990).
Begitu juga mereka lainnya datang dari berbagai kota dan berjejaring dengan komunitas petani setempat itu, telah berada di padepokan yang letaknya di tepian alur Sungai Senowo, sekitar enam kilometer barat daya puncak Gunung Merapi.
Di antara mereka yang turut memadati pendopo padepokan dengan panggung prosenium, adalah rombongan berjumlah sekitar 100 mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dipimpin dua pengajarnya, Joko Aswoyo dan Eko “Pebo” Supendi, saat puncak tradisi budaya para petani setempat yang dikenal sebagai “Suran Tutup Ngisor”.
Bergabung juga di dalam pendopo padepokan di kawasan Gunung Merapi yang malam itu, udaranya cukup dingin dengan awan bergumpal-gumpal di langit, tepat pada 15 Sura 1948 (kalender Jawa) yang identik dengan bulan purnama, antara lain Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edi Susanto, Kepala Kepolisian Sektor Dukun AKP Eko Mardiyanto, Sekretaris Kecamatan Dukun Bambang Hermanto, budayawan Magelang Sutanto Mendut, dan Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supadi Haryanto.
Semua sanak keluarga padepokan mengenakan pakaian adat Jawa, antara lain bebet, surjan, dan belangkon, menyambut dengan ramah para tamu yang datang pada peringatan hari istimewa komunitas itu. Lingkungan padepokan juga diinstalasi dengan berbagai anyaman janur, jerami, aneka hiasan bambu, dan taburan kembang mawar warna merah dan putih, serta pelita terbungkus gedebok di berbagai tempat.
Selama beberapa saat sebelum pentas wayang sakral penanda puncak “Suran Tutup Ngisor”, Supadi Haryanto bersama beberapa pegiat komunitas seniman petani dari kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu, berjalan ke pemakaman Romo Yoso di belakang kompleks padepokan, untuk ziarah kubur dan berdoa.
Perbincangan antara Tyas yang direktur utama termuda di perusahaan di bawah badan usaha milik negara itu, dengan Sitras malam tersebut, seputar arti penting pergelaran wayang sakral dengan lakon “Lumbung Tugu Mas” dan seluruh rangkaian perayaan besar bernuansa wajah desa, “Suran Tutup Ngisor”, yang kali ini berlangsung selama empat hari, 4-7 November 2014.
Keluarga padepokan, setiap tahun memiliki kewajiban menggelar empat tradisi, yakni perayaan tahun baru Jawa bernama “Suran” (Suran Tutup Ngisor), peringatan HUT RI, perayaan Idul Fitri, dan Maulud Nabi Muhammad SAW.
“Ini adalah cara kebudayaan keluarga padepokan, berdoa untuk semua orang dan melibatkan mereka dengan berbagai latar belakang, agar pertanian tetap subur dan masyarakat petani Merapi beroleh kemakmuran dan keselamatan,” kata Sitras dalam sepenggal perbincangan dengan Tyas sebelum didaulat menyampaikan kesan personalnya tentang padepokan seni budaya itu di atas panggung prosenium.
Budayawan yang juga penerima Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi 2014 dari pemerintah pusat pada 3 Oktober yang lalu, Sutanto Mendut menyebut padepokan dengan pendukungnya sebagai pusaka bangsa. Sebutan “pusaka” yang dimaksud Sutanto untuk padepokan itu, tentunya bukan sebatas pusaka bendawi, akan tetapi juga pusaka tak bendawi.
Perjalanan waktu, menurutnya, telah membawa mereka melewati klaim sebagai hebat dan sebagai pelestari kesenian tradisional. Mereka telah menentukan jalan kebudayaannya sebagai bagian tak lepas dari kehidupan sehari-hari. Sitras bahkan mengaku risi dengan sebutan “nguri-uri” (melestarikan) kebudayaan.
Sutanto menyatakan optimistis bahwa kekuataan desa, spirit pertanian, dan lingkungan alam Gunung Merapi akan terus menuntun kehidupan kebudayaan mereka dengan multikompleks tantangannya.
“Padepokan ini mengajari setiap orang tentang tidak ada gunanya kesombongan dan arogansi sektoral. Padepokan ini telah mengajari arti penting pergaulan yang panjang,” katanya dalam pidato kebudayaan, sebelum pentas wayang sakral “Lumbung Tugu Mas” dengan tabuhan gamelan bertalu-talu dan tembang-tembang berbahasa Jawa oleh para pesinden.
Puncak Tabuhan gamelan mengiring berbagai adegan hingga puncak pementasan wayang orang sakral, “Lumbung Tugu Mas”, dengan dituntun oleh dalang Suwonto. Lakon itu, karya Romo Yoso bersumber inspirasi kehidupan petani dan Dewi Sri yang dalam mitologi Jawa sebagai lambang kesuburan.
Lakon wayang sakral tersebut, tentang rencana mulia keluarga Pandawa membangun lumbung dengan penuh tantangan dan jalan pencapaian yang harus mereka tempuh. Lumbung adalah tempat menyimpan padi, hasil panenan petani.
Berbagai tantangan membangun lumbung itu, disimbolkan dengan gangguan para raksasa terhadap perjuangan keluarga Pandawa..
Salah satu adegan pementasan itu, berupa pertemuan keluarga Pandawa di Kerajaan Indraprasta dipimpin oleh Prabu Kresna (Marteja). Digambarkan juga tentang kehadiran, antara lain Puntadewa (Hari), Bima (Saparno), Arjuna (Eka Pradaning), Nakula (Suroso), Sadewa (Slamet Widodo), serta para punakawan.
Kresna juga menjelaskan dalam pertemuan itu, tentang makna “Lumbung Tugu Mas” yang kira-kira sebagai tempat kemakmuran, dibangun dengan tekad yang teguh, demi mencapai cita-cita luhur manusia.
Dikisahkan juga, Kresna mengonfirmasi kepada Puntadewa tentang restu Begawan Abiyasa (Untung Pribadi) atas rencana membangun “Lumbung Tugu Mas” agar masyarakat hidup makmur, damai, dan terbebas dari malapetaka.
Artikel ini ditulis oleh: