Jakarta, Aktual.co — Peneliti energi dari Martapura Institute, Edy Burmansyah menyatakan alasan Pemerintah mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) diragukan kebenarannya. Pasalnya, setiap kali rencana kenaikan BBM muncul, maka alasan Pemerintah selalu menyangkut beban subsidi yang sangat besar, sehingga sudah saatnya subsidi dibatasi, bahkan dialihkan ke sektor lain.
Rencana Pemerintah mengurangi subsidi merupakan agenda dari perusahaan-perusahaan minyak asing yang beroperasi di sektor hilir dengan mendirikan berbagai SPBU.
“Harga premium SPBU Pertamina lebih rendah dari bensin RON 92 yang dijual oleh SPBU asing membuat usaha hilir mereka tidak dapat berkembang dengan baik, bahkan beberapa diantaranya ada yang memutuskan menutup SPBU,” kata Edy di Jakarta, Kamis (6/11).
Rencana Pemerintah menaikan harga BBM disebabkan oleh dua permasalahan yang menyergap. Pertama, akibat lonjakan konsumsi BBM yang mendorong stok BBM dikhawatirkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hingga akhir Oktober 2014 atau kurang dua bulan (November dan Desember).
“Namun hingga akhir Oktober 2014 konsumsi BBM bersubsidi telah mencapai 38,4 juta kiloliter (kl), demikian stok yang tersisa sebesar 7,6 juta kl. Maka sampai akhir 2014 stok BBM bersubsidi diproyeksi akan aman,” ujarnya.
Kedua, lanjutnya, rencana menaikan harga BBM didorong oleh design RAPBN 2015 yang menambah dana alokasi BBM bersubsidi sebesar Rp31 triliun, dari sebelumnya Rp245 triliun pada 2014 menjadi Rp276 triliun pada 2015, untuk kuota BBM bersubsidi sebanyak 47 triliun. Peningkatan dana subsidi dikhawatirkan akan membuat APBN jebol dan ruang fiskal bagi Pemerintahan Jokowi menjadi sempit sehingga tidak dapat menjalankan program-programnya sebagaimana dijanjikan pada masa kampanye.
“Tekanan pada APBN 2015 akan semakin kuat bila nilai tukar Rupiah atas dollar amerika terus melemah, dan harga minyak meningkat dengan tajam. Guna mengurangi tekanan tersebut Pemerintah berencana menaikan harga jual BBM eceran sebesar Rp3.000 per liter,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka