Jakarta, Aktual.co — Di Pariaman, Sumatera Barat, sekitar 50 kilometer dari Kota Padang, kehidupan berjalan seperti biasa. Tepat 10 Muharram 1436 Hijriyah, Senin (3/11), tidak ada tanda keramaian dan sebuah papan pengumuman yang menandakan akan ada helatan besar di kota Tabuik pekan depan.
Tabuik akan keluar seminggu lagi, tepatnya pada Minggu 9 November 2014, atau 16 Muharram 1436 Hijriyah berdasarkan penanggalan Islam. Demikian jadwal yang terpampang, sedangkan prosesi ritual sudah digelar sejak 25 Oktober lalu. Jeda yang terlalu jauh.
Pertimbangan Hari Libur Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pariaman, Yusrizal mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan dua Nagari dalam hal menentukan jadwal Tabuik.
Dijelaskannya, karena 10 Muharram bertepatan dengan hari Senin, maka puncak Pesta Budaya Tabuik diundur menjadi Minggu (9/11).
Hal itu dilakukan, mempertimbangkan wisatawan domestik dan mancanegara serta perantau, karena hari itu sekaligus berlibur ke Pariaman sehingga kota itu menjadi ramai.
Ia tidak menampik, Tabuik sekarang memang merupakan Tabuik Pariwisata, yang mengutamakan unsur kepariwisataan agar Pariaman lebih dikenal.
“Dulu memang Tabuik tradisi, tapi sekarang sudah Tabuik Pariwisata, maka kita sesuaikan jadwalnya dengan kebutuhan wisata,” imbuhnya.
Ia juga mengakui, kurangnya promosi dalam penyelanggaraan Tabuik tahun ini, terkait tidak adanya kerjasama dengan pihak swasta.
Pemkot Pariaman menganggarkan dana sebesar Rp736 juta menggunakan dana APBD kota untuk pelaksanaan Pesta Budaya Tabuik tahun ini termasuk promosi.
Tetua Tabuik Subarang, Nasrun Jon menyatakan, menurutnya biaya Tabuik tahun ini banyak digunakan dalam acara kesenian yang sebenarnya bukan inti dari prosesi ritual.
“Untuk modal pembuatan Tabuik itu sekitar Rp22 juta per satu tabuik, tidak sampai ratusan juta termasuk biaya prosesi ritual, ini biaya habis karena acara kesenian saja,” imbuhnya.
Sedangkan prosesi ritual, sambungnya, yang sebenarnya memiliki nilai jual terutama bagi wisatawan malah jadi terabaikan.
Menurutnya, wisatawan domestik maupun mancanegara ingin melihat Tabuik karena tradisinya, bukan acara seremonial pemerintah.
“Jangan sampai ada kesan, pemerintah berladang di punggung nagari dengan Tabuik ini,” imbuhnya.
Sementara itu, Pengamat Kebudayaan Pariaman, Abrar Khairul Ikhirma mengakui tabuik semakin lama semakin jauh dari tradisi.
“Apa salahnya jika tabuik dilaksanakan dengan tradisinya. Pemerintah sudah ambil alih dari even rakyat menjadi even pemkot, ini perlu dikaji ulang,” tegasnya.
Berdasarkan historis, Tabuik lah yang mempersatukan masyarakat Pariaman sejak dulu.
Ia menilai, boleh saja Tabuik dikatakan sebagai Tabuik Pariwisata, namun sampai beberapa tahun ini daya tarik semakin menurun.
Karena di Pariaman, katanya, tidak ada yang menarik selain Tabuik yang ditunggu-tunggu setiap tahun.
Maka itu ada istilah, “Pariaman tadanga langang, Batabuik mangkonyo rami” (Pariaman terdengar lengang, bertabuik maka ramai).
Namun sekarang masih saja sepi, seminggu ke depan, pada Minggu (9/11) diperkirakan barulah kota pantai itu disesaki pengunjung yang ingin menyaksikan Tabuik dibuang ke laut.
Tanpa jejak dan kenangan, orang-orang hanya akan tahu, itulah Tabuik seharga puluhan juta, yang dipertontonkan dan dibuang ke laut hanya dalam sehari saja.
Artikel ini ditulis oleh: