Jakarta, Aktual.co — Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah paling timur di Provinsi Jawa Timur, merupakan salah satu daerah yang kaya akan keberagaman seni budaya khas, seperti seni barong, tari gandrung, jaran goyang, kesenian seblang dan kebo-keboan yang penuh nuansa mistis.
Pada Minggu (2/11) lalu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menggelar “Festival Kebo-Keboan”, sebagai salah satu dari beberapa rangkaian kegiatan “Banyuwangi Festival 2014” yang diselenggarakan sejak Mei lalu.
Selain kebo-keboan, agenda tahunan untuk menggerakkan sektor pariwisata daerah berjuluk “The Sunrise of Java” itu, juga diisi dengan berbagai kegiatan, di antaranya kompetisi selancar internasional, barong ider bumi, seblang olehsari, batik festival, gandrung sewu, festival kuwung, balap sepeda “Tour de Ijen”, festival jazz pantai, dan “Banyuwangi Ethno Carnival”.
Kebo-keboan merupakan sebuah ritual masyarakat lokal, di mana sejumlah orang didandani seperti binatang kerbau dan seluruh tubuhnya dilumuri jelaga hitam. Kebo dalam bahasa setempat berarti kerbau.
Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, festival kebo-keboan menandakan budaya agraris yang sangat kental di daerahnya. Selama ini, Banyuwangi dikenal sebagai salah satu lumbung padi Jatim dan selalu mengalami surplus produksi sekitar 250.000 ton beras setiap tahunnya.
Ritual kebo-keboan adalah bentuk tradisi permohonan kepada Tuhan agar sawah yang dimiliki masyarakat tetap subur dan panen berlangsung sukses. Dalam ritual itu, sejumlah orang didandani seperti kerbau yang merupakan simbolisasi mitra petani di sawah untuk menghalau malapetaka selama musim tanam hingga panen.
“Kebo-keboan sejak lama telah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan masyarakat lokal Banyuwangi. Kerbau bukan ternak pada umumnya yang dikonsumsi dagingnya, tapi kerbau adalah mitra petani untuk menggarap sawah dan berupaya mendapatkan kemakmuran,” tutur Anas, sapaan akrab Bupati Banyuwangi saat menghadiri festival tersebut.
Di kabupaten paling ujung timur dari Pulau Jawa itu, ritual kebo-keboan secara rutin digelar di dua tempat dalam satu hari yang sama, yaitu Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi dan Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh.
Konon, ritual yang digelar setiap tanggal 10 Muharram itu muncul sejak sekitar abad XVIII Masehi. Saat itu, masyarakat setempat dilanda “pageblug” atau wabah yang menyerang tanaman padi mereka.
Salah seorang sesepuh desa saat itu, Buyut Karti kemudian melakukan ritual selamatan dan menganjurkan warga desa membajak sawah menggunakan kerbau. Setelah ritual itu, pageblug pun hilang dan sejak itu setiap tahun warga Banyuwangi rutin mengadakan ritual kebo-keboan.
Diawali Kenduri Ritual kebo-keboan diawali dengan acara kenduri desa yang digelar sehari sebelumnya. Pada kegiatan ini, warga bergotong royong mendirikan sejumlah gapura dari janur yang digantungi hasil bumi di sepanjang jalan desa sebagai perlambang kesuburan dan kesejahteraan.
Keesokan paginya, warga pun menggelar selamatan di empat penjuru desa, yang dilanjutkan dengan ider bumi. Para petani yang didandani seperti kerbau lalu berkeliling desa mengikuti empat penjuru mata angin.
Saat berkeliling desa inilah, para “kerbau” itu melakukan ritual layaknya siklus bercocok tanam, mulai dari membajak sawah, mengairi hingga menabur benih padi.
Para petani yang menjadi “kerbau” itu diyakini kerasukan roh gaib, karena mereka berjalan seperti kerbau yang sedang membajak sawah.
Mereka juga berkubang, bergumul di lumpur dan bergulung-gulung di sepannjang jalan yang dilewati. Saat berjalan pun di pundak mereka terpasang peralatan membajak, persis seperti kerbau.
Atraksi ritual kebo-keboan ini sangat menarik ribuan warga. Bukan sekadar melihat atraksi, warga dari Banyuwangi dan luar daerah yang datang ke lokasi juga ingin mendapatkan berkah dari benih padi yang sengaja ditebarkan.
Seperti yang dilakukan Mbah Sapurat (56 tahun), yang saat itu berebut benih padi di Desa Aliyan yang tercecer di jalan, meski harus berjuang melawan “kerbau”.
“Tiap tahun saya pasti ikut berebut benih padi yang ditebar di acara ini untuk saya tanam lagi di sawah. Alhamdulillah, panen saya pun hasilnya juga bagus dan melimpah,” ujar Sapurat.
Tradisi kebo-keboan pada tahun 2013 menjadi tema Banyuwangi Ethno Carnival dan telah mulai tahun ini masuk dalam agenda pariwisata daerah Banyuwangi Festival, sebagai salah satu agenda andalan menarik wisatawan lokal dan mancanegara.
“Dengan masuk Banyuwangi Festival, secara tidak langsung memaksa kami untuk bisa menampilkan suatu atraksi budaya lokal yang berkelas, misalnya dengan perbaikan manajemen acara. Ini sebagai upaya kami agar budaya lokal terus membumi, selain tentunya rakyat pun bisa bangga terhadap budaya khas daerahnya,” ujar Abdullah Azwar Anas.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuar Bramuda menambahkan Festival Kebo-keboan juga menjadi bentuk pelestarian budaya agraris masyarakat “Bumi Blambangan” yang telah ada sejak ratusan tahun lalu.
“Di Banyuwangi banyak model agrotourism yang memadukan pertanian dan wisata. Misalnya, wisatawan bisa meminta paket wisata ikut menanam padi di sawah atau ikut melihat pemetikan kopi hingga cara menggorengnya,” paparnya.
Artikel ini ditulis oleh: