Jakarta, Aktual.co — Dalam suatu diskusi membahas pameran lukisan karya seorangmaestro, Affandi atau Sudjojono, seorang hadirin dengan gaya keakademisan membahascampuran warna di sebuah lukisan. Berbagai teori seni dikutipnya untukmenjelaskan campuran warna jingga, yang dia nilai kurangpas. Dia gugat pula makna dari campuran warna itu dari berbagai aspek. Bahasankritikus ini sangat canggih, keren, dan memukau untuk dituliskan menjadi sebuahartikel seni  yang berbobot.

Setelah tanggapan panjanghadirin itu, moderator pun bertanya pada si pelukis. “Bagaimana jawaban bapakterhadap tanggapan dan uraian penanggap tadi?”  Sang pelukis pun tersenyum, lalu: “Oooh,begini. Waktu saya melukis saat itu, tanpa sengaja tangan saya menekan terlalukeras tube cat warna jingga, sehingga muncrat ke kanvas. Nah, daripada lukisanyang sudah hampir jadi itu dibuang gara-gara kecipratan cat, maka catnya yasaya padukan saja ke lukisan!”

Cuplikan jokes itu diunggah olehsenior dalam status FB-nya pada Senin (27/10) pukul 17.27 bertajuk BAHAYAJADI ANALIS/KOMENTATOR  AKADEMIS YANGTERLALU PINTAR.  Satrio Arismunandar, jurnalis itu menyatakan yang munculternyata, “sebuah jawaban yang sederhana saja.”  Maka sekarang setiap membaca analisis politik yangcanggih-canggih dan rumit terhadap politik Indonesia, seperti  melibatkan konspirasi Cina, Amerika, Inggris,Jepang, Mossad, KGB, CIA, asing, aseng, ali baba, dan sebagainya, dia  sering teringat pada cerita di atas.

Orang pintar bisa keliru justrukarena “keasyikan” dengan kepinterannya sendiri. “Kalau Orang itu sangatpintar dan jenius,  dia bisa membuathubungan yang seolah match dannyambung antara pilihan Jokowi terhadap menteri A, B, C, dengan perubahan cuacadi kawasan Depok tempat saya tinggal ini,” kata jurnalis itu. .

Ya, Jokowi memang bukan Affandiatau Sudjojono. Presiden yang mantan tukang kayu ini bukan pelukis. Kalau puningin diibaratkan, Jokowi mirip peselancar yang harus lihay mengendalikan papanselancarnya dalam menunggangi gelombang demi gelombang yang bergulung ke pantai.Sebagai presiden yang terpilih hasil dukungan suara mayoritas tipis rakyat,berkat uapaya koalisi partai yang bukan mayoritas parlemen, dan dukunganberbagai elemen relawan, Jokowi niscaya dilesaki berbagai titipan amanat dananeka kepentingan.

Langkah Jokowi  melibatkan KPK (Komisi Pembrantasan Korupsi) untukmenentukan calon menteri dalam kabinetnya, dinilai Buya AhmadSyafiiMaarif sebagai cerdik. Paling tidak, sedikitbanyak langkah itu bisa agak mengurangi beban Jokowi ketika harus mencoretsejumlah nama calon. Tetapi apakah Jokowi cukup mampu berselancar lincah ketikaada dua atau lebih arus yang berbenturan menciptakan  gelombang yang berlung tidak beraturan? Itumungkin pertanyaan khalayak sepekan ini.

Wajar, jika kemudian munculpertanyaan kritis, seperti mengapa etnis Batak, khususnya yang Kristiani untukpertama kali dalam sejarah kabinet di Republik Indonesia ini, tidak terwakili?Atau apa alasan utama yang memberanikan Jokowi menempuh langkah kontroversialmengangkat menteri yang putus sekolah lanjutan atas? Atau, benarkah Jokowi batalmengangkat purnawira pasukan khusus, karena ada isu menghormati permintaan darimantan  pesaingnya?

Tidak ada seorangpun yang hariini bisa menjawab dengan pas berbagai pertanyaan spekulatif tersebut.  Namun apapun kepentingan rakyat yang harusdiutamakan.

Untuk itu Jokowi harus ingat, bahwa seperti apa yang pernah dikatakanoleh pujangga Jerman, Johann Wolfgang von Goethe bahwa “ To rule is easy, to governdifficult.”  Berkuasa itu mudah,tetapi memerintah itu sulit. Lagi pula menjadi presiden sebuah negara yang heterogendan pluralis dengan jumlah penduduk terbesarkeempat di dunia , bukan sekedar kelihaian berselancar di arus pesisir perairanyang itu-itu juga. 

Jangan terpukau di pantai, tapiterjanglah ombak ke depan menyeberangi  perairanyang bergelora ini. Selamat berjuang Kabinet Kerja, Rakyat akan menagih semua janjimu.  

Artikel ini ditulis oleh: