Penyusunan nama-nama menteri anggota kabinet Presiden Joko Widodo yang hingga kini belum selesai, sesungguhnya presiden memiliki momentum tidak hanya memeriksa calon menteri dari sudut pandang bahwa sang calon bersih dari korupsi, pelanggaran HAM, dan tindak pidana lainnya tapi juga apakah di sepanjang karirnya sesuai tidak dengan visi misi presiden.
Sebut saja menteri-menteri terkait agraria, pertanian, dan pangan, seharusnya dipilih yang selama ini memiliki komitmen terhadap reforma agraria, renegosiasi kontrak pertambangan, pelestarian lingkungan, kedaulatan pangan dan pembelaan terhadap hak petani dan masyarakat yang bekerja di pedesaan.
Selain memerika nama-nama menteri, saat ini masih ada momentum bagi presiden untuk memeriksa kembali tugas dan wewenang kementerian-kementerian.
Sebut saja kementerian-kementerian terkait agraria, pertanian, dan pangan yang selama ini terjadi sektoralisme sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan yang menciptakan jungle of regulations sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak tercapainya progam pemerintahan.
Redistribusi tanah untuk petani misalnya, hanya akan terealisir apabila didukung kebijakan pertanahan di kehutanan, pertambangan, BUMN dan pemerintah daerah.
Pun demikian dengan kedaulatan pangan hanya akan tercapai apabila menteri yang mengurusi kecukupan produksi dan cadangan pangan tidak berbenturan dengan menteri yang mengurusi perdagangan khususnya kebijakan impor pangan yang tidak bisa dibendung karena perjanjian perdagangan internasional seperti WTO (World Trade Organization).
Jika salah memilih menteri dan tugas-wewenang kementerian, tidak hanya visi-misi presiden tidak jalan, tapi juga berpotensi penyalahgunaan wewenang oleh menteri sehingga justru lembaga pemerintahan melanggengkan perampasan tanah-air-benih, krisis pangan, dan bencana ekologi karena berkuasanya kartel pangan, mafia pertanahan dan tambang.
Oleh Gunawan, Ketua Eksekutif IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice)